Surat Cinta di Pemakaman

Muhammad maftukh anwar
Chapter #6

Mayat Hidup

Satu pekan berlalu sebuah surat kabar terbit dan sampai di hadapan mereka, UPKS sudah resmi ditutup selamanya. Para mahasiswanya digantung di bantaran sungai, dengan kepala yang terpenggal. Tak berbusana. Tanpa nama. Dan lintang menangis sejadi-jadinya. 

“Belum tentu itu Kasim.” Kakar coba memperingatkan, namun kali ini lintang sudah tak berharap lebih banyak lagi. Ia menghubungi romo tentang keadaan di Solo melalui surat pos, dan dibalas dengan jemputan beberapa utusan menaiki mobil jeep setelah dua minggu berselang. Ia akan kembali pulang ke kampung halaman membawa kabar buruk bagi keluarga besarnya.

“Ikutlah bersamaku ke temanggung, mas.” Setelah mengemasi barang-barang pada tas kecilnya. Ia menghampiri kakar yang tengah duduk di ruang tengah. Disampingnya seorang tegap tinggi, seorang utusan dari temanggung mulai bangkit dari duduknya. Melempar barang bawaan ke kap belakang mobil jeep.

“Ndak bisa, aku harus-” Kakar terhenti.

“Toko Buku Magani sudah tiada.” Lintang memberikan kenyataan menyakitkan bagi kakar, solo sudah jadi merah. Segalanya terbakar, lautan api menenggelamkan solo yang teduh. Solo yang rapuh. 

Tubuh lelaki itu diam tak berdaya, bergetar urat lehernya. Mulutnya menahan teriak, dan bola matanya tergenang sungai. Toko Buku Magani yang ia bangun selama lima tahun itu kini tinggal sisa petak tak berguna. Ia seperti kembali ke masa lalu, saat ia baru pertama kali menemukan sebuah harta karun tak ternilai di sebuah rumah peninggalan belanda, rumah yang baru dikontraknya tahun 1960 itu.


Bermodalkan uang tabungan di celengan ayam, ia tersesat dan terjebak di sebuah gang yang mempertemukannya dengan sebuah bangunan belanda tak terurus, “omah suwung mas.” Seorang berkumis tebal membuat kakar tersentak.


Namun sekian detik kemudian, kakar lanjut menunjuk sebuah plang kayu di depan halaman. Disewakan. Begitu tertulis jelas dengan warna merah. “Kebetulan punya saya.” Pria berkumis tebal mengaku demikian.


Lihat selengkapnya