Surat Cinta di Pemakaman

Muhammad maftukh anwar
Chapter #7

Malaikat Maut

Namaku Kasim Karyadi, aku bersaksi bahwa….

Perkara hidup dan mati, barangkali tuhan memerintah iblis masuk ke dalam tubuh manusia. Dengan sebilah parang, bambu runcing, katup pistol, dan besut belati. Bahkan sejak pertama kali diturunkan ke bumi, sejak hanya dipersenjatai kepal tangan, manusia sudah membunuh dengan kejam untuk memperebutkan.

“Aku bersaksi bahwa, aku bukan komunis!”


Sebuah tamparan menembus wajah lelaki itu, hampir goyang tegak kakinya. Namun ia sanggup berdiri lagi, menatap seorang lelaki berkumis di depannya. Dengan sisa air mata yang lapuk di bola matanya, kering kerontang, jalaran tahu tak ada guna menangisi keadaan.


Seorang lelaki berkumis memanggil seorang lagi, yang datang membawakan sebuah botol kaca, lalu pergi lagi meninggalkan kasim dan lelaki berkumis di ruangan kubus tiga kali tiga itu. Semua yang terbuat dari semen, tak ada celah. Hanya ventilasi kecil, tempat kasim mengenali siang dan malam selama tiga hari belakangan. 


“Jawab, dimana ketuamu yang sok jago itu?” Selongsong botol kaca dibenturkan ke tembok, hingga hanya gagang yang tersisa. Dengan lancip serpihan di ujung mata kasim. 


“Masih mau diam saja?” Ia menggoreskan serpihan kaca itu menuruni pipi, tipis. Namun darah mengalir, seperti air mata. Ngilu ketika dirasakan, namun kasim tak dapat apa-apa, alih-alih mengusap darah dari pipinya. Sebab kedua tangannya digantung ke atas, sedang ia terpaksa harus berdiri sepanjang dikurung di dalam kubus mengerikan itu. Jauh lebih mengerikan daripada perkataan romo dan biyung, yang selalu melarangnya untuk kuliah. Barangkali ini akibatnya.


Namun ia masih kokoh berada di tengah–tengah ruangan itu. Walau telapak kakinya sudah mulai merasa kebas, tak mengenali siapa ibu jari dan siapa kelingking yang selalu ingkar pada janji. 


Namun rintihan lelaki tak berdaya yang tergantung itu hanya dibalas oleh sebuah bentakan dari si kumis. “Komunis asu!” Ludah melumuri wajah kasim, rintik berbusa yang berisi sumpah serapah itu adalah tanda kebenciannya.


 Dan sebilah botol yang pecah ditempelkan kembali ke pipi kasim, kini turun perlahan hingga ke dada bagian kiri, menghasilkan sayatan panjang seperti anak sungai, atau seperti anak sekolah dasar yang sedang belajar menggambar tanpa penggaris. Goresan yang berkelok-kelok hingga sampailah di panggal dada, tempa dicongkelnya sedikit bagian tubuh kasim, tercipta sedikit rongga daging di dada kirinya, nyaris menyentuh ke bagian tulang dan jantung. Ujung pecahan botol kaca yang runcing itu ditancapkan secara perlahan pula, mengalir darah seperti selai stroberi. Kedua tanan yang masih tergantung, membuat kasim tak dapat melwan banyak. Ia hanya bisa mengibaskan tubuhnya, sedang pergelangan tangannya terasa perih akibat lecet. 


Di dada kirinya masih mengalir secara perlahan darah itu, lelaki berkumis menyuruh seorang di belakang untuk Mencabut botol kaca dan melemparkannya ke lantai, terpecah belas jadi butiran halus yang tajam. Lanjut menyumpal dada kasim dengan kain rombeng, barangkali bekas tinja dan air kencing selama tiga hari tiga malam telah mengering. Pria suruhan itu melilitkan kain tu ke bahu kasim, menutupi dadanya yang tercungkil. 


Seolah pria berkumis tak memperbolehkan kasim untuk mati terlebih dahulu, sebelum ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Posisi dan letak persembunyian Pulung. Sebab untungnya dia lihai seperti cacing, bisa menjaga Farah dan sang seniman untuk memperjuangkan kembali UPKS walau telah terbakar habis menjadi abu. 


Dengan begitu pula kasim dibiarkan tergantung di kubus itu, tak ada makanan tak ada pula minuman, hanya seember air yang diguyurkan ke tubuhnya oleh seorang penjaga setiap kali adzan maghrib terdengar. Dan ia hanya bisa minum sisa guyuran air yang telah bercampur dari keringatnya sendiri. Dijilatinya kedua lengan yang terhimpit di kepalanya. Hanya itu yang dapat ia raih dengan juluran lidah.


Di dalam kubus tak bercelah ini, tentu membuat kasim beranggapan ia akan mati. Engap seperti selimut yang menghangatkan tubuhnya ketika malam, namun jadi tabung kremasi yang membakar tubuhnya ketika siang, beberapa saat ia jadi teringat pada loteng yang dimiliki bang kakar, tersembunyi di dalam barisan buku-buku terlarang itu. Pada saat-saat seperti ini pula kasim bisa mengingat-ingat masa lalu ketimbang harus memikirkan apa yang akan dihadapinya di masa depan, sebab di kubus ini. Barangkali masa depan adalah satu detik kemudian, dimana kau bisa bernafas lagi atau tidak.


Dan seketika pula kasim akan berhenti pada sebuah ingatan yang membuatnya ingin tetap hidup satu detik demi detik kemudian. Ingatan pada sebuah kalimat yang membuatnya bangkit, walau sumbu di dadanya telah layu dan basah oleh amis darah. 


Lihat selengkapnya