Surat Cinta di Pemakaman

Muhammad maftukh anwar
Chapter #8

negeri para kabut

Mereka menempuh 3 jam perjalanan dari solo ke temanggung menggunakan jeep. Sebab mereka lebih memilih lewat jalur bawah, lewat salatiga ketimbang melintasi magelang, yang masih rawan kerusuhan walau bisa memangkas 30 menit waktu perjalanan mereka. 


Namun apa bedanya, seperti aliran anak-anak sungai yang akhirnya bertemu di muara, mereka punya banyak pilihan untuk sampai di tempat tujuan.


Kakar masih terhimpit barang-barang bawaan di bak belakang, mencoba merebahkan diri di tumpukan tas itu. Dipangkunya sebuah kotak besi kecil. Sementara lintang duduk di kursi depan, disampingnya seorang supir yang tak banyak bicara. Memakai kacamata gelap, menutupi kelopak mata hitamnya seperti panda.


Kelokan jalan membuat kakar hampir mual, ia tak terbiasa melewati tanjakan dan turunan seperti ini. Namun setelah menahan muntahan, mereka pun berhasil sampai di sebuah bukit dengan kabut tebal menutupi. 


Pertanda bahwa udara dingin tak turun sebagai hujan, melainkan dinding tebal yang membatasi pandangan sekitar lima meter. Sementara Dibalik bukit itu, adalah sebuah rumah joglo yang luas. hamparan ladang tembakau di kanan dan kiri, kepunyaan romonya. 2 hektar luasnya.


“Nduk ayu.” Seorang perempuan memeluk tubuh lintang, tepat setelah turun dari mobil jeep. Sementara lelaki berkacamata hitam sibuk mengeluarkan barang-barang bawaan di bak belakang. Menyisakan tubuhku, yang masih menenteng kotak besi kecil di genggaman.


“Masuk dulu, bertemu romo.” Namun terhenti langkahnya, lintang melihat ke arah belakang. “Biyung, perkenalkan ini teman yang mengurusku selama di solo. Mas Kakar.”


Kakar berjabat tangan dengan perempuan anggun itu, bersanggul rapih, kulitnya bersih. Barangkali hidup diselimuti kabut akan membuat kulit menjadi sehat, seperti kebanyakan orang yang lahir dan tumbuh di dataran tinggi ini.


Setelahnya, mereka digiring ke dua arah yang berbeda. Lintang bertemu dengan romonya, masuk lewat pintu tengah rumah joglo yang terbuka lebar. barangkali akan bercerita tentang keadaan sulit di solo, juga kasim yang masih belum ditemukan. Menghilang dua pekan lebih lamanya. Sementara kakar, digiring menuju pintu sebelah, sebuah kamar kecil diperuntukkan bagi tubuhnya untuk melepas penat.

-

“Romo pengen kowe di sini saja, biar romo yang urus masmu.” Lipatan wajahnya kaku. Di sebuah pringgitan, sebuah ruang terbuka di rumah joglo dengan bangku-bangku berjajar di sana. Lintang bersimpuh di pangkuan Romonya


“Maafkan saya romo, tidak bisa menjaga mas kasim.” Ia terus menerus diliputi kesedihan itu, namun biyungnya menarik tubuh lintang menjauh dari romonya. Masuk ke dalam senthong, sebuah bagian dari rumah joglo yang digunakan untuk tempat menyimpan rahasia, sebuah kamar. Lintang meninggalkan romo yang tergenang air mata pada wajah lelaki tua itu, yang hampir runtuh ketika melihat putri bungsunya menangis.


Sedang Biyung memerintah beberapa rewang untuk menyajikan sebuah jarik dan kebaya, tergeletak di kasur. “Pakai ya nduk, lepas pakaianmu yang cuma kaos dan jaket  itu. Nanti dibilang apa sama warga desa.” Biyungnya memang kental oleh tradisi dan menjaga titah perempuan seperti pada seharusnya, cara duduk, cara bicara, dan bagaimana caranya tertawa, semuanya telah ia praktikkan sepanjang hidup. Dan begitu pula ia menjadi wanita yang disegani oleh banyak wanita lain di desa ini. 


Seperti saat lintang minta berkuliah ketimbang harus dijodohkan oleh pemuda kenamaan, Biyung adalah orang pertama yang menentang. Kepergian sang perawan dari rumah menjadi pertimbangan besar bagi seorang ibu. Seperti harus meninggalkan telurnya yang belum tetas.


Namun di sisi lain romo tak bisa melarang anak bungsu terakhirnya itu untuk pergi berkuliah. Romo sebagai lelaki yang menjadi kepala keluarga di rumah ini pun memberikan satu syarat pada putrinya. Bahwa ia harus berkuliah di tempat kasim. Akan lebih aman, menurutnya. Membuat biyung kesal tak setuju, namun ia bisa apa. Sebab bila romo sudah memutuskan, maka akan tetap seperti itu. Dan romo telah terkena sihir anak bungsunya, ia meleleh ketika permintaan itu keluar dari mulut anaknya.


Baru beberapa pekan setelah melepas putri bungsunya, alih-alih semuanya terasa aman bagi kedua orang tuanya, sebab semua pertimbangan berubah jadi kacau berantakan. Kasim entah masih bernyawa atau tidak. Sedangkan hari ini anak perempuannya menangis pilu tak henti-hentinya. Biyung yang menanggung sedih pun, harus memakai topeng yang tebal agar kuat demi menyemangati anak perempuannya. Hanya pecah tangis itu ketika berada di kamar. Berpelukan dengan sang suami, yang coba menenangkan isak tangis seorang ibu. Sementara lelaki yang menjadi bapak bagi kedua anak itu, entah dimana menyimpan segala air matanya.

-

Setelah masing-masing selesai dengan urusan kamar, semua keluarga berkumpul di ruang makan. Termasuk Kakar Magani,sang tamu tak diundang. Mereka duduk memenuhi setiap kursi, melingkari meja makan yang sudah penuh oleh aroma nasi megono. Terumbar ketika dicampur dengan ikan asin.


Empat orang berkumpul di meja itu, sedang para rewang kembali ke dapur setelah berbaris mengantarkan piring ke meja makan. 


“Ini masakan kesukaan mas kasim.” Celetuk lintang membuat seluruh orang terdiam.


Tidak berapa lama, hanya dinding-dinding ruang tengah joglo itu yang berbicara, dinding kayu yang diukir secara terampil oleh para pemahat, terbentang sebuah lukisan besar. Jesus christ! Dan sebuah lentera bertengger di bawahnya, aroma kemenyan menyertai.


Romo coba memecah keheningan itu. Dengan suaranya yang letih namun tetap terdengar jelas. “Habiskan-habiskan, jangan sungkan.” Ia menyodorkan semangkuk megono sisanya, lintang menyerobot. Memberikan itu pada lelaki di sampingnya. “Mas kakar, megononya di tambah.” Secentong lagi parutan nangka muda itu memenuhi piringnya.


Setelah meja makan dikosongkan, saatlah tiba untuk kepulan asap menghiasi wajah mereka. Menghapus sisa masam di mulut, menyegarkan. Sebatang linting tembakau, “pernah coba srinthil?” Romo menyodorkan itu pada kakar. Dengan cepat iya menjawab, sudah.

Lihat selengkapnya