Sesapan mbako srinthil menjangkau hidung para pemetiknya, menajamkan naluri mereka untuk mengumpulkan tembakau yang telah siap jadi asap gurih dan manis bagi para penghisap kretek. Begitupun bagi romo, tumbuh dan besar di tengah ladang tembakau membuat nalurinya tajam, ia tahu rasa tembakau hanya dengan menciumnya saja.
Sebagai pemilik ladang seluas 2 hektar, ia mempunyai tanggung jawab yang besar untuk menghidupi para petani lokal di daerah sekitar tempat tinggalnya. Membuat para warga desa menghormatinya sedemikian rupa. Lagipula, romo adalah seorang kepala daerah. Tak heran bila romo menjadi orang terpandang di tempat ini, di temanggung. Siapa tak kenal namanya, Jatmiko Lawe Dorman. Anak indo, keturunan pribumi dan londo. Yang membuatnya selain pintar dan kaya raya, juga tampan. Tak heran bila ia menggendam seorang perempuan cantik juga bersahaja, Kinaryosih. Mereka menikah walau perbedaan usianya hampir sepuluh tahun lebih,
Dari hasil perkawinan itu, tak lama mereka dikaruniai seorang putra, Kasim Karyadi yang kini baru berusia lima tahun. Disusul hamil besar di perut Kinaryosih, kini bocah lelaki itu akan punya adik.
“Dadi cah lanang iku, harus siap mati.”
“Mati demi keluarganya.”
“Mati demi apapun itu.” Romo menasehati kasim, walau kasim belum paham apa yang dikatakan romonya. Sambil mengoles luka yang terbuka di dengkul anaknya akibat jatuh dari sepeda, romo mendidik anak lelakinya dengan keras.
Kasim kecil meringis, perih itu tak digubris oleh romo. Ia mengajari lelakinya untuk tetap punya nyali meski dalam keadaan apapun, sekalipun harus bersimbah darah. “Cobalah sampai bisa.” Setelah luka itu dibilas oleh kain perban, kasim dituntun kembali ke sepedanya. Tergeletak di sebuah turunan jalan panjang, membelah ladang tembakau.
Dengan bangga, romo menyilangkan tangannya. Melihat kasim kecil yang susah payah mengayuh sepeda itu. Meski kakinya telah nyeri, dan dengkulnya terasa ingin copot. Bocah lima tahun itu, mulai memutar kakinya. Sebab ia tahu, romonya tak akan berhenti hari ini sebelum putranya bisa menjaga keseimbangan pada sepeda yang baru dibelinya.
Beberapa kali hampir terjatuh, kasim pun berhasil membawa senyum di wajah romo. Menggenjot sepeda dengan cepat, romo menyambutnya gembira. Dan setelahnya, hari- hari berikutnya kasim kecil selalu bepergian menaiki sepeda, seperti seorang yang baru memenangkan pertandingan dan mengalungkan medali emas di leher. Kasim ingin semua orang tahu kalau dia sudah bisa menaiki sepeda, dan luka di dengkulnya adalah medali emas itu.
“Mas,” Kinaryosih memanggil putra sulungnya, walau hamil besar 9 bulan dan hampir melahirkan. Namun tubuhnya terasa enteng, singset di kebaya. Anggun jalannya, tidak mengangkang seperti perempuan pada umumnya.
“Njih, biyung.”
“Romo kemana?” Kinaryosih mencari letak suaminya, sebab pagi tadi ia pamit untuk mengajari putranya bersepeda. Namun hingga siang ini, hanya keberadaan kasim yang muncul di halaman rumah joglo.
Kasim menggeleng, sementara wajah kinaryosih berubah cemas. Alisnya bersatu, kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Mencari sebisanya. Namun mustahil, sebab hingga sore tiba, saat kabut turun mendatangi halaman rumah. Jatmiko masih tak memperlihatkan batang hidungnya.
“Mbok, ini mas Jat kemana ya. Sudah sore belum pulang.” Kinaryosih menoleh ke belakang, seorang rewang kepercayaan sedang menyisir rambutnya. Barangkali hanya rewang itu yang tahu bagaimana bentuk rambut kinaryosih ketika tidak disanggul.
“Tenang saja ndoro, pasti nanti pulang.” Ia terus menyisir rambut majikannya itu. Mengumpulkan sisa rambut yang rontok, sebab tak boleh sama sekali dibuang sebelum anak di perutnya lahir. Bisa-bisa rambut rontok itu menjadi santapan kesukaan para demit, rambut orang hamil memiliki aroma lezat bagi makhluk halus. Digumpalkan jadi satu bulatan, semakin besar selama 9 bulan. Akan dikubur gumpalan rambut itu bersama ari-ari.
Ditengah jari-jemari membelai rambut panjang yang terurai, Kinaryosih dibuat kepalang gusar karena ketukan itu memburu pintu depan rumah joglonya. Ketukan berulang kali, seperti suara kentongan yang hinggap di pintu. Dan kasim, bocah lima tahun itu sudah berada di depan pintu, hampir membukanya. Namun tubuh kecilnya berhasil di tarik oleh rewang, sedang kinaryosih berada jauh. Melambaikan tangan pada kasim, sebuah isyarat untuk datang ke pelukannya. Dan suara ketukan pintu itu masih terus terdengar.
Dengan begitu, pintu kemudian dibuka oleh seorang rewang. Begitu pula Terbentang kabut tebal di teras rumah. Terlihat seorang pria kurus kering, segera masuk ke dalam rumah dan menutup pintu itu kembali. “Ndoro.” Ia bersimpuh di depan kinaryosih. Memberikan sebuah surat, dari kanjeng Jatmiko. Permintaan maafnya sudah tertulis di surat ini, barangkali ia bilang begitu dalam bahasa jawa kromo yang kental. Lanjut ia meninggalkan rumah itu, dengan cepat. Menyisakan tanda tanya yang begitu besar di kepala kinaryosih.