Surat Cinta di Pemakaman

Muhammad maftukh anwar
Chapter #10

Perempuan

Masa kecilku dilalui tanpa kehadiran romo, Sampai usiaku tujuh tahun kala itu aku dibesarkan oleh mas kasim. Kata orang, ingatan masa kecil adalah yang paling membekas di memori seseorang. Maka begitulah mas kasim di mataku, ia adalah ukiran yang tercetak di dalam tubuhku. Aku tak bisa melupakannya. 


Dan saat romo tiba-tiba muncul dalam kehidupanku, ia seperti seorang lelaki yang penuh penyesalan. Segala permintaan bahkan selalu dipenuhinya. Ia selalu luluh oleh perintahku, akulah kelemahan romo. Namun sekarang rupanya telah berbeda, penyesalan yang terkurung di dalam lubuk hati romo barangkali telah habis. Sebab Aku dipaksa kawin.


Romo merasa bahwa keputusan membiarkan anak gadis berkuliah ke solo adalah kesalahan yang besar. Dengan begitu, kali ini Romo mengikuti perintah istrinya, biyungku. Lelaki itu kembali bersimpuh pada biyung, kini biyung yang mengatur rumah ini. Sedang Romo bertindak hanya untuk urusan kebun dan harta, ia lebih sering berkumpul dengan para tengkulak. Ia merasa tak ahli mengurus anak perempuan, biar biyung yang bicara. 


“Jangan keblinger! Ikuti saja perintah biyung mu, itu yang terbaik.” ia bicara begitu, sementara biyung hanya punya satu permintaan, kawin. Aku dijodohkan oleh orang yang tak ku ketahui bagaimana bentuknya, Yang pasti, ia kaya raya dan terpandang. Lelaki yang dipilihnya.

-

Ratapan hujan di bulan desember menyertai runtuhnya hati lintang, tak terasa sudah dua bulan mereka singgah di temanggung. Mereka selalu menghabiskan sisa siang, di gubuk kecil di tengah ladang tembakau ini, dan baru kali ini mereka terjebak di sana. Menunggu hujan reda saat sore menjadi semakin sipit di antara luasnya langit mendung.


 “Sudah tahun berapa ini, masih saja memaksaku kawin?” Lintang menyerocos.

“1965.” Kakar malah menjawab tanpa merasa bersalah, membuat lintang kesal. Mereka duduk di tepi lincak. Di sebuah pekarangan kebun, mereka dapat melihat panjang dan lebar kebun tembakau dihinggapi rintik. Walau beberapa setelahnya kabut pasti datang menutupi keindahan itu.


“Iya, aku tau sekarang sudah tahun 65. Maksudku kita sudah merdeka 20 tahun lalu.” Lintang membakar rokoknya, kini ia sudah lihai membentuk asap dari kerucut bibir. Bahkan dia sudah bisa ngeses, satu titik dimana kita bisa merasakan tembakau lebih dalam lagi masuk ke dalam tubuh.


“Betul.” Balas kakar, “Tapi perempuan seumurmu sudah pada kawin.” Lanjutnya.

“Aku bukan mereka, kau sama saja mas.” ia melengos, tak memperdulikan kakar yang sedang melinting tembakau di tangan, lalu menjilat ujung kertasnya agar kuat seperti di lem.


“Apa kau tidak akan kawin?”  Kakar memperhatikan tubuh perempuan di sampingnya, masih melengos ke depan. Melihat ladang tembakau yang terbentang, lama-lama surup oleh kabut. Sedang di mulutnya sekarang terasa manis dan gurih, jres. Ia membakar lintingan yang sudah siap.


“Tidak, sebelum mas kasim pulang.” Lintang akan terus memikirkan kakak lelakinya itu, seperti ada yang belum tuntas dalam hidupnya sebelum kasim pulang ke rumah usai kebakaran melanda UPKS dengan ganas. Melahap segalanya.


“Kira-kira bagaimana keadaan di solo ya?” Lintang mulai menoleh ke arah kakar, mereka bertatapan cukup lama, sehingga salah satu diantaranya harus mengalah. Dan sang lelaki kalah, kakar melengos. Berbicara tanpa menatap wajah lintang. “Baik-baik saja tanpa kita.” Ujarnya sambil memainkan telapak  tangan bersentuh-sentuh dengan tempias hujan di sisi gubuk itu. Lalu ia Menghembuskan nafas pelan, bau tanah basah membuatnya ingin terus menerus memejamkan mata.


Barangkali setelah mereka berdua tidak kelihatan sama sekali di rumah joglo, biyung khawatir. Maka disuruhnya seorang rewang berjalan menunduk, memegang payung dan menerobos hujan. “Ndoro ayu, biyung sudah menunggu di rumah.” Lalu ia memberikan sebuah payung untuk mereka.


Butuh beberapa menit untuk mereka kembali ke rumah, gubuk itu berada di tengah ladang, di sebuah bukit. Mereka akan menuruni anak tangga dari rumput yang licin, kemudian berjalan lurus membelah lautan tembakau srinthil yang terbentang. Nampak kecil, atap runcing rumah joglo itu terlihat di tengah serangan kabut tebal. Dan hujan masih saja turun dengan riwis-riwis, seakan tak bisa berhenti. 


Dahulu lintang paling suka hujan-hujanan, diubahnya bukit-bukit jadi papan seluncur. Ia mengalir dengan tubuh yang basah kuyup. Namun sekarang, ia tak bisa melakukan itu lagi. “Kenapa tidak bisa?” Kakar bicara demikian, langkah mereka terbata-bata, masih menuruni bukit.


“Karena bukan kanak-kanak lagi mas,” hampir ia terjatuh, untung pundak kakar yang lebar berhasil ia tankap. Ia berpegangan pada pundak itu.


“Kata siapa?” kakar menjauh dari pegangn lintang, membuat lintang kalang kabut mencari tumpuan, sedang kakinya bergerak turun. Membuat kakar terbahak-bahak melihat tingkahnya yang hampir terpeleset jatuh, barangkali meluncur seperti yang ia ceritakan.


Dan benar saja, kini tubuhnya menjelma papan selancar. Turun ke dasar bukit dengan lepas kendali. Kasim memberikan payung yang dipegangnya pada seorang perempuan tua di belakang, ikut terjun mengikuti lintang. Dan karena berat tubuhnya yang lebih besar dari lintang, mereka bisa sama-sama sampai di dasar dalam waktu yang sama. Lalu tidak segera bangkit, tubuh mereka masih terlentang. Mereka menatap langit, rintik mengguyur wajah mereka.


“Ternyata lebih menyenangkan ketika dilakukan saat sudah besar.” Lintang masih menatap ke atas langit, ia bicara sedikit gelagapan sebab air hujan masuk ke dalam mulutnya. Membiarkannya saja.


“Kapan terakhir kali kau tersenyum lebar seperti ini?” Kakar memperhatikan wajah lintang, seperti namanya. Ia bersinar di tengah kegelapan, bak bintang yang telah lama tertutup mendung. 


“Mungkin…” lama ia berpikir.

“Sudah lama sekali. Setahun yang lalu.” ia terdiam, lalu memikirkan masa itu. Masa dimana lintang merasakan hal yang sama menyenangkannya, sebab bukan cuma senang. Namun lebih mirip seperti sebuah kegagalan, masa itu. Masa yang indah.


Pada sebuah masa. Di dalam sebuah kamar, berukuran empat kali empat. Kotak sempurna untuk menyimpan tubuh seorang perempuan remaja berusia 16 tahun, Tanpa pakaian dan kosmetik di liang wajahnya, telanjang dari apapun. Perempuan itu duduk di depan cermin sambil ia katakan berulang kali, “Asu, siapa tidak ingin tubuhku ini?” Lentik jemarinya merogoh dua pepaya yang terjuntai dari dada, meremasnya. “Kenapa aku perlu berdandan setiap pagi.”


Dengan desah kecil, ia rogohkan sebatang jari di antara dua paha. Sebuah liang lahat bagi kenikmatan yang terkubur dalam-dalam. Dengan rasa penasarannya itu pula, ia kecup ujung jari-jari berlendir yang telah tercelup di dasar. “Kenapa tidak ada yang bisa memuaskanku, seperti diriku sendiri.” Tatapan mata sayu menggoda cermin di hadapannya.


Beberapa saat ia seperti berada di surga, melihat aliran sungai dari air susu atau istana megah tempat bidadari singgah. Beberapa saat lagi ia merasa ada di neraka, melihat kobar api di benaknya dan tersulut kencang sisa-sisa desahnya. Malam itu selang waktu berjalan begitu cepat rasanya, seperti ingin mengulangi nya setiap saat. Mencolok lipatan merah di selangkangan dengan ujung jari. 


Namun perempuan itu selalu  tertidur pulas tanpa busana di kasur setelah bercinta dengan dirinya.

Tubuh terkapar dan membiarkan dua bola di dada terbelah menjadi dua, beberapa kali seperti ingin meletus ujung putingnya, dingin merayapi seolah puncak merapi. Lahar mengalir, siapa ingin kenyot bila bersedia.


Namun setelah cairan dari selangkangannya terbelalak ke lantai-lantai, perempuan itu tak mempersoalkan dingin, sebab keringat di batang lehernya dapat menghangatkan tubuh. Cara menghabiskan malam dengan menyenangkan.


Esok paginya ia merasa ingin melakukannya lagi, namun ia tidak bisa melakukannya saat matahari terbit. Sebab para perempuan harus bersiap dan tampil cantik setiap kali ayam berkokok, biyung mengajarinya begitu. “Bekalmu sudah siap.” Biyung meletakkannya di meja, tentu bukan ia yang memasaknya. Biyung bahkan sudah tampil lengkap, duduk minum teh dan merajut.


“Setelah lulus sekolah, kau harus berkenalan dengan seorang pria.” Ia bicara begitu, menaikkan kembali kacamatanya yang hampir akan terjatuh. Biyung menggigit bibir bawahnya, coba berkonsentrasi memasukkan jarum ke simpul rajutan yang benar.


Sementara sudah sekian kali remaja putri itu mendengar kalimat kawin, seolah tak ada kata lain di dunia ini yang pantas untuk jatuh cinta. Kepalanya masih mendidih, memasukkan sepatu kanvas pemberian romonya. “Pak ruslam,” ia memanggil seorang supir keluarga. Seorang lelaki tua yang juga memiliki akses ke rumah ini penuh. Ia tangan kanan romo. Namun belum sempat aku sampai di hadapan pak ruslam. Romo tiba-tiba menghadang, “pagi ini biar romo yang mengantar.” Dan dengan tangkas ia menggeser pak ruslam yang tengah duduk memanasi mobil berbentuk kodok, melembung bagian depan dan jok belakangnya. Berwarna biru laut.  Bergetar mesin-mesinnya.

Lihat selengkapnya