Orang-orang utusan romo duduk di depan teras, menghadap sang majikan, Jatmiko. Dan dengan capat mereka sampaikan bahwa Kasim Karyadi tak bisa ditemukan lagi lantaran dituduh sebagai komunis, kampus tempatnya berkuliah dibakar, dan tubuhnya tak pernah terlihat. Namun lintang masih percaya bahwa kasim masih hidup, dia masih bernafas barangkali entah di bagian dunia yang mana.
“Sabar nduk.” jatmiko mengelus pundak anak gadisnya, yang bersesak-sesak oleh tangis. Sementara kinaryosih seketika menghilang, lebih dari patah, ia menangis di padapuran. Tempat yang gelap, dimana tak seorangpun tahu bahwa kinaryosih bisa meruntuhkan air matanya juga.
Kakar yang melihat pemandangan itu, juga merasai hal yang sama. Hilangnya kasim baginya, seperti kehilangan seorang kerabat dekat, sebab mereka terlampau akrab. Ia masih sering mengingat-ingat masa-masa menyenangkan di toko buku magani, menggoda mbak niken atau perbincangan lain.
Malam-malam berikutnya di rumah joglo itu, membuat kakar harus bertindak sesuatu. “Romo, ada yang bisa saya bantu di rumah ini?” Ia berpikir, bahwa dia juga dapat berguna daripada hanya menumpang makan dan bersembunyi di negeri para kabut ini.
Dan pada keesokan paginya, sebilah arit diberikan kepadanya. “Kalau kau mau lakukan sesuatu, mulailah dari pekerjaan paling kecil. Babat sisa panen di ladang itu.” Begitu perintah romo, membuat kakar menyusuri ladang tembakau di samping pekarangan. Berbekal sepotong gorengan di meja sebagai sarapan, ia bergabung dengan para petani lain. Membagi tugas di petak-petak ladang yang luas.
Usai panen, biasanya hanya tinggal sisa batang yang harus dicabut dari akar, kemudian ditanami lagi oleh bibit baru. Dirawat hingga tumbuh daun-daunnya, dan dicerabut lagi. Terus-menerus. Kehidupan memang silih berganti di ladang tembakau ini.
Walau udara dingin terus merambat di sekujur kulitnya, namun keringat masih menetes dan berhasil mengubah warna kaos jadi tembolok yang lebih gelap, basah. Ia mencopot kaos itu, sehingga kakar melampirkan kaos itu di bahunya yang lebar seperti kepak sayap, atau lebih seperti kepala kobra yang merasa terancam.
Berlumbung-lumbung batang tanaman tembakau yang tak terpakai, diseret menyusuri satu siring ke siring lain. Hingga ia tak menyadari bahwa kelabu siang berubah jadi temaram sore yang menjanjikan petang, kabut tebal semakin turun menyentuh permukaan bukit-bukit di temanggung. Dan udara semakin menembus tajam, seperti ribuan jarum pentul menusuk tubuh kakar yang bertelanjang dada. Dan dengan firasatnya, barangkali sebentar lagi akan turun hujan untuk pertama kalinya sejak ia berada di temanggung.
Seperti sebuah malapetaka baginya, sebab ia berada di tengah-tengah ladang tembakau yang luas dan para petani yang bersamanya sejak berangkat telah menjadi titik-titik, teramat jauh untuk bisa ia lihat. Sementara awan gelap terus mengepung langit, dan sepersekian detik turun menjadi rintikan yang menyerbu permukaan tanah. Kakar berlari menyeret hasil pekerjaanya, sebuah karung goni yang penuh oleh sisa akar tembakau, sebilah arit di tangan, dan kaos yang masih tersandar di bahunya.
Namun hujan berhasil menghentikan langkahnya, beberapa meter sebuah bangunan kecil terletak di tengah-tengah ladang tembakau. Hanya itu satu-satunya tujuan untuk berteduh sejenak, barangkali hingga hujan reda. Langkahnya kewalahan karena ladang tembakau menjelma jadi permukaan yang licin, bercampur lumpur akibat guyuran hujan. Sudah seperti berjalan di atas tumpukan bubur ketan hitam, lengket juga menempel bercak noda di pangkal kakinya.
Merangek kakar di dalam lumbung penyimpanan hasil mbako itu, tertumpuk berkarung-karung mbaku segar, sedang adapula yang masih dikeringkan. Digelar memanjang dan melebar di tanah, beralas terpal.
Di dalam lumbung penyimpanan itu, ia hanya bisa meletakkan tubuhnya di tumpukan tembakau segar yang baru beberapa hari yang lalu dipetik. Aromanya hijau mentah.tidak seperti sengat aroma rempah pada tembakau yang telah dikeringkan. Tubuhnya kelekar ke atas, rintik hujan yang bercengkrama dengan genteng, hanya didengarnya bunyi-bunyian yang deras menyambar.
Sementara malam masih panjang. Di lumbung penyimpanan itu sama sekali tak ada cahaya. Tak ada nyamplik. Sebab lumbung penyimpanan itu memang tak pernah tersentuh oleh manusia ketika malam datang, hanya digunakan sebagai wadah penyimpanan para tembakau. Lantas dengan sisa akalnya, ia menarik satu lembar daun tembakau yang separuh kering, digulung dan diperlakukan seperti kertas sigaret atau klobot jagung. Lalu diisi oleh tembakau kering lain yang dicacah. Menyulutnya dengan bara api di korek kayu. Jres. Hanya cahaya kecil bersinar di wajahnya ketika ia menghisap aroma kretek srinthil tanpa campuran apapun. Aroma yang kental, membuat dahaganya masam.
Satu batang ke batang lain, ia melipat lebih banyak kretek dengan bahan-bahan seadanya itu, sebab tak ada yang bisa ia lakukan lagi sembari menunggu hujan reda. Penerangan seadanya dari hisapan bara api di mulutnya, membuat ia bisa memandang setidaknya 30 centimeter dari kegelapan yang terbentang luas. Di sebuah lumbung penyimpanan, di tengah ladang tembakau, barangkali sampai di tengah malam nanti.
Di dalam sana ia tak bisa mengenal waktu, yang bisa kakar lihat hanyalah kabut tebal dan kegelapan yang tak bisa diterawang. Ia membuka sebuah jendela kecil di lumbung penyimpanan itu. Meletakkan kedua sikunya di bingkai. Menatap kosong dan membiarkan angin memperkosa kulitnya kisut.
Seluas padang terbuka, seluas itu pula ia bisa memandang gelap. Namun sebuah sinar mencemari jelaga hitam itu secara tiba-tiba. Di kejauhan, sebuah titik cahaya lampu kuning merayap, semakin mendekat. Sesekali kilatan petir memunculkan siluet tubuh, ia menuju kemari.
Tak lama usai kakar mulai penasaran, ditambahnya sedikit rasa takut menyelimuti sebab barangkali cahaya itu bukan berasal dari manusia. Boleh jadi demit, atau monster yang mencari mangsa di malam hari. Maka ia bersiap memompa kepalan tangan dari lengan yang dirajut oleh serat-serat otot.Nampak begitu kokoh walau tubuhnya tak begitu besar. Ia berdiri, mengambil sebilah arit dan mulai menyimpannya di belakang bahu yang lebar.
Hampir ia melemparkan sebilah arit itu pada siluet yang kian mendekat, hampir pula ia melewati batasnya. Sebab siluet tubuh itu kian menampakkan wujud asli, menyulap niat kakar yang semula teguh jadi kaku dan layu, arit itu terjatuh di tanah yang basah.
Seorang perempuan, dengan gantungan bahtera lampu di satu tangan, sedang tangan lainnya memegang payung. Menerobos hujan.
“Lintang?” Begitu kakar memastikan, namun perempuan di depannya tak berbicara banyak. Menyeret kembali tubuh kakar magani yang basah kuyup akibat berdiri di batas antara teras dan halaman lumbung penyimpanan.
“Aku mencarimu sejak sore, mas kakar.” Begitu gelisahnya wajah itu. “Kata romo kau di ladang, dan belum kelihatan lagi, kau jangan seperti ini lagi, aku sangat benci kepergian.”
“Kenapa tak menyuruh rewang atau pak ruslam saja?” Kakar balik bertanya, sebab alangkah nekatnya lintang malam itu. Sebab boleh jadi ada kilatan petir yang menegur siluet tubuhnya di tengah ladang mbako yang sudah terampas seluruh isinya.
“Aku harus memastikan sendiri, aku takut kau juga hilang.”
“Seperti yang terjadi dengan mas kasim. Tiba-tiba menghilang begitu saja dan tak kembali.” Tentu tindakannya tak pernah berjalan dengan pikiran jernih, kepergian kakak lelakinya membuat lintang selalu diselimuti bayang-bayang menakutkan tentang kepergian, tak memperboleh seorangpun dalam hidupnya untuk pergi. Ia tak mau kehilangan apapun lagi. Bola matanya melepuh seperti disengat tawon, entah itu air mata atau sisa air hujan yang mengalir di pipinya.
Lantas kakar menarik tubuh lintang di sebuah sudut, di atas karung tembakau srinthil yang masih basah yang menjelma jadi sebuah tempat duduk yang nyaman. Diletakkan bahtera lampu itu di hadapan mereka, sehingga kini lumbung penyimpanan dapat terlihat secara utuh. Dari satu sudut ke sudut lain, cahaya itu mencar-mencar kuning.
Tak banyak menjawab, kakar hanya mempersilahkan kepala perempuan disampingnya itu untuk rubuh di bahu yang terbuka lebar. Saling menatap getir lampu yang beberapa kali sempat berkedip-kedip, jika terkena hembusan angin.
“Apa kau tidak takut dengan kepergian?” Lintang menyerobot, kepalanya masih tak berdaya di bahu kakar.
“Tidak.” Jawab kakar. Membuat lintang tak terima, namun beberapa waktu kemudian kakar memberikan alasan, “Karena aku belajar dari ladang tembakau milik Romomu.”
Lintang mengernyitkan dahi, memberikan isyarat bagi kakar untuk melanjutkan pejelasan itu. “Ladang ini, telah menghasilkan tembakau srinthil terbaik. Dan begitupula para tembakau harus pergi dari tempatnya tumbuh, jadi sebuah lintingan di mulut orang-orang. Kemudian ladang yang kosong ini, nantinya akan ditumbuhi tembakau srinthil yang baru.”
“Bayangkan jika tembakau srinthil hanya boleh ditanam sekali sepanjang zaman, maka anak cucu kita tak bisa mewarisi rasanya yang gurih dan spesial.”
“Biarkanlah ladang yang kini telah kosong, ditumbuhi benih tembakau baru agar kau bisa selalu panen secara turun temurun. Begitu pula dengan hatimu, kau tidak bisa hanya berdiam diri di titik itu. Berlarilah. Maka mas kasim, mas mu akan lebih senang jika melihat adiknya bahagia.” Kakar menjelaskan dengan begitu hati-hati.
“Tapi bagaimana jika hasil panen selanjutnya tak sebagus panen sebelumnya?” Lintang mempertanyakan, ketakutan itu masih terus mencengkram kepala. Sebab baginya kehilangan orang kasim adalah akhir dari seluruh hidupnya.
“Aku dulu seorang tukang sayur, jadi tahu mana hasil panen yang masih segar dan yang telah ditimbun lama.” Kakar memecah suasana menegangkan itu. Sumbing senyum di sudut bibir lintang, mekar di wajahnya yang layu.
“Guyon mu tidak tepat.” Lintang menyimpan senyumnya kembali.
Kakar berterus terang sebab lintang terlihat tak percaya dengan pekataan lelaki itu.
“Cerita yang sangat panjang. Cerita yang telah kusimpan dan tak ingin kusentuh lagi, sedang aku berlari ke solo, dan kini berlari ke temanggung.” Jelasnya.
Seketika pula lintang kemudian percaya, sebab seorang lelaki di samping berkata dengan getaran suara sumbang di ujung kalimat. Seperti Sebuah ombak yang ingin menerobos tenggorokan, sebuah kalimat yang terbendung lama dari mulut seorang laki-laki.
“Bagaimana sejauh ini?” seperti merasa bersalah, lintang menatap kakar dan meletakkan tangannya di pangkuan paha kakar.
“Telah kusimpan, dan tak akan ku buka, sedang aku berlari terus menerus.” Kakar menatap lintang, serius dengan serpihan cahaya kuning di kedua bola mata mereka.
“Seperti barang-barang yang kau simpan di kotak besi, yang selalu kau bawa dan kau tak pernah membukanya?”