Surat Cinta di Pemakaman

Muhammad maftukh anwar
Chapter #12

kado spesial

Tumpukan karung yang tersumpal sesak oleh tembakau, seorang pria bersembunyi di selipan bak tertutup sebuah truk angkut. Suara roda masih terus berputar. Gemuruh panjang yang sesekali berhenti, sesekali membuat tubuhnya terombang-ambing ketika memasuki jalanan panjang yang sepi. Melaju begitu cepat, siang dan malam.


Aku akan kembali ke solo, sebab seorang lelaki seperti ku memanglah tidak pantas untuk seorang putri keturunan londo yang kaya  raya.


Lancang. Pikirnya, ketika sadar bahwa ia telah jatuh hati pada lintang. Bukan beruntung mendapat kesempatan hidup dan bekerja sebagai petani mbako saja, sekarang ia harus kembali ke Solo yang teduh, solo yang rapuh. Berusaha mengumpulkan sisa-sisa keping yang tercerai di kota itu, sedang ia masih tidak tahu bagaiaman kabar solo hari ini. Akankah pembantaian itu masih terus terjadi, atau…


Barangkali tuhan saja sudah tak peduli.


Roda berhenti, sebuah truk menyisihkan diri ke bahu jalan. Sebuah plang besar, magelang. Tempat para tembakau akhirnya menemukan rumah baru, ketimbang hanya di ladang. Mereka akan tumbuh sebagai kepulan asap dari mulut ke mulut.


“Joh, asu!!” Seorang lelaki, supir truk yang selalu menyetel kaset Titik Sandora di kap depan, kini merasa dirinya bodoh. Bisa-bisanya selama beberapa hari ini, sekor tikus bisa masuk dan menumpang di bak belakangnya.


“Asu pincang!” Begitu umpatnya ketika menarik kakar magani, terjatuh diantara bak belakang yang tinggi. Terkulai di bahu jalan. Ditendangnya, lalu sibuk mencoret kertas-kertas. Kemudian para tembakau diturunkan oleh para kuli angkut.


Jambang dan rambutnya yang panjang , kini dapat ia rasakan mulai terasa gatal. Tubuhnya masih tak berbusana, sedangkan ikatan di luka-lukanya sudah terlepas, luka terbuka yang mulai kering, hanya menyisakan nyeri di kaki, sehingga ia tak bisa berjalan dengan lurus. Naik-turun-naik-turun. Seperti bianglala.


Kakar mulai berjalan sedikit demi sedikit ke sebuah warung, duduk lemas, dan memesan secangkir air putih walau ia masih memikirkan bagaimana caranya untuk membayar, Diteguknya dengan lepas, barangkali sudah berapa lama ia tak bersuara. Kerak di dalam lehernya masih kering kerontang. Kental darah yang disesap itu keluar lewat batuk yang menggorok leher. 


Selama satu bulan ia bersembunyi di lumbung penyimpanan untuk memata-matai seorang perempuan, nyatanya tak membuat kasim bertambah waras. Justru harapannya pupus ketika suara orkes dangdut terdengar dari lumbung tembakau yang letaknya jauh dari rumah joglo itu, mengisi sepi saat malam hari. Pesta satu pekan, tak berhenti barangkali senyuman kedua mempelai itu.


Dengan begitu pula, ia memutuskan untuk pulang. Menyusup ke dalam truck angkut, berharap truck berhenti di Solo. Namun karena ia tak bisa meminta lebih, tanpa sepeserpun koin sen yang ia punya. Maka ia hanya bisa menuruti sang supir, yang sekarang mendaratkan tubuhnya di Magelang. Beberapa saat lagi sampai solo, jika ia melakukan hal yang sama. Menyusup seperti tikus-tikus kelaparan.


“Wes, gausah bayar.” Penjual makanan pinggir jalan itu membiarkan kakar magani untuk membayar, atau barangkali hanya mengusir pria beraroma tembakau itu dari warungnya.


Di sebuah sudut pasar, tempat para truk datang dan pergi. Ia sibuk mendengarkan percakapan orang-orang. Sebab ia harus sampai di solo, hanya itu yang ia punya. Dari segala sisa.Selam dua bulan lamanya ia pontang-panting mencari informasi, tulang-tulangnya semakin menonjol kadar lemaknya berkurang drastis sebab ia hanya mengandalkan makanan bekas di warung-warung, lalu bergantung pada hujan untuk mandi dan mendapatkan air yang segar. Walau begitu sayap di punggung masih terlihat lebar, sebab lapisan otot itu sangat lama menyusut.


Belum sempat ia mendapatkan informasi yang pasti untuk sampai solo, tiba-tiba seorang pria menghampirinya. “Mau kerja?” Ia masih berdiri, menatap kakar yang duduk lemas di tanah. Barangkali selama dua bulan pula ia memperhatikan pemuda berotot hanya duduk tak berguna, walau pincang kakinya, namun ia bisa digunakan untuk mengangkut barang atau pekerjaan lain yang mengandalkan tubuhnya, ketimbang otak. Sebab lelaki itu selalu mengira kalau dia seperti mayat hidup. Melongo menatap sekitar, sedang nalurinya beringas seperti binatang ketika mengorek-orek makanan sisa di tong sampah.


“Bisa nyupir?” 


Kakar hanya menggeleng.


“Angkut-angkut?”

Seperti orang bisu, kakar kemudian berdiri. Dan membuat lelaki di depannya kaget saat kakar mulai mengucapkan sebuah kalimat, “Mau ke solo?”


“Asu…”

“Jogja, tapi kalau mau ke solo kau harus bayar upah.” Seorang lelaki di depannya meminta bayaran. “Ndak punya to, yaudah kerja sek sana.” 


Tak ada yang cuma-cuma untuk hidup, maka kakar magani memaksa tubuhnya untuk mengangkat sekarung barang-barang kiriman. Kebutlan, kiriman-kiriman yang diangkut oleh truk ini adalah beras-beras magelang terbaik. Beras SM, Super Magelang barangkali kepanjangannya. begitu kakar menghafal nama itu, sebab puluhan karung telah tertata rapi di bagian belakang, sedang tubuhnya sekarang berada tepat di samping supir. Kunci diputar, dan gerigi mulai bekerja menggerakkan otot-otot pada mesin truk. Gigi dua, sang supir menjalankan angkutannya pelan. Setelahnya kecepatan bergerak sesuai pada kehendaknya.


“Kau jadi kuli panggul sekarang, upahnya beres.” Ia tersenyum lebar, karena walau tubuh kakar pincang dan tak terurus. Jelas lekuk tubuh dan bentuk perawakan punggungnya yang lebar seperti sendok makan itu membuatnya mudah untuk memanggul berkali-kali karung ke bak belakang truk. Lantas pak supir yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Bagong itu meraih sumpelan kaos kusut dan melemparkan ke tubuh kakar yang bertelanjang dada.



“Aku cuma mau ke solo saja.” Ucapnya sambil memasukkan kedua lengan, kini ia sudah berkaos putih dengan bercak noda coklat yang tak bisa hilang.


“Lebih baik ke jogja, solo terlalu…” Bagong berhenti sejenak, coba memilih kalimat yang tepat untuk menggantinya, namun ia menyerah. Disebut apa adanya. “Solo terlalu komunis. Basis partai merah. Kalau kata orang-orang jalanan seperti kami, dinasti merah berasal dari solo. Partai merah terlalu banyak di sana, makanya yang dibantai lebih banyak ketimbang kota lain.” Bagong mengetahuinya dari kabar-kabar burung, sebagai orang jalanan tentu ia sudah banyak mendengar cerita-cerita, dari orang ke orang lain. Dan begitu ia menyimpulkan keadaan solo.


Namun kakar yang mendengar bahwa solo belum berubah seperti saat ia meninggalkannya terakhir kali, masih berusaha ingin coba memulai hidupnya kembali, seperti lima tahun lalu saat ia pertama kali lari dari semarang dan membuka toko buku secara tiba-tiba di Solo. Ia pasti akan bertemu keajaiban, dalam dadanya meletus sebuah doa tentang rumput-rumput liar yang dibabat lalu tumbuh kembali walau sang pemilik tanah tak menginginkanya. Dan seperti nama yang dipilihnya lima tahun lalu pula, kakar, Rumput-rumput. Ia akan tumbuh terus menerus walau tak pernah merasa diinginkan.

Lihat selengkapnya