"Ketika segalanya terlalu sulit untuk diungkapkan,
biarkan surat yang bercerita."
“Lo nggak pernah cerita kalo lo suka sama Kak Jovan!” Ah, ternyata benar namanya Jovan.
Saat ini aku dan Sari berada di ruang kelas kami yang sepi, XI IPS 3. Ponselku masih rapat di telingaku sejak 2 menit lalu. Entah dapat kabar dari mana sampai Shinta—yang katanya sakit— langsung meneleponku untuk menanyakan kejadian di aula tadi.
“Gue nggak suka sama dia!” belaku. Aku masih merasa bingung. Semuanya terasa tidak masuk akal.
“Nggak mungkin lo nggak suka sama cowok sepopuler Kak Jovan!” Shinta terus menudingku dari seberang telepon. Berbeda dari Sari yang karakternya pendiam, sahabatku yang satu ini tingkat keponya sangat akut.
“Bukannya gue nggak suka sama dia—” “Tuh kan, lo suka sama dia!”
“Bukan gitu! Dengerin gue dulu, Shin. Dia emang keren dengan prestasi yang luar biasa, juga populer di sekolah. Tapi, bukan berarti gue harus suka sama dia, kan?”
Shinta mengembuskan napas berat. “Terus yang di aula tadi apa, dong? Lo kasih surat cinta ke Kak Jovan?” tanyanya lagi, tapi dengan nada sedikit lebih rendah daripada sebelumnya.
“Kata siapa?” Aku masih bingung, Shinta tahu dari mana? “Jangan kira gue nggak tahu. Hampir satu sekolah live IG pas lo kasih surat cinta itu.”
“Astaga!” Aku mengusap wajahku gusar. Sama sekali aku tidak menyangka situasinya akan seheboh ini. Kutatap Sari yang sejak tadi hanya diam sambil menatapku cemas. Aku yakin, dia pun bingung dengan keadaan ini.
“Jadi, lo main rahasia-rahasiaan selama ini?”
“Itu bukan surat gue, Shin. Gue temuin surat itu di bawah kursi dan gue pikir itu punya dia. Lagian masih zaman nyatain cinta pakai surat?”
Shinta terdiam beberapa saat. Kemudian kembali menghela napas berat. “Ya udah, maaf kalo gue terlalu kasar sama lo. Gue cuma nggak mau lo rahasiain sesuatu dari gue sama Sari. Kita bertiga kan janji akan saling cerita tentang apa pun, termasuk tentang cowok yang disuka.”
Akhirnya, aku bisa tersenyum lega. Tentu saja, hampir lima tahun aku, Shinta, dan Sari berteman sejak SMP. Kami merasa cocok satu sama lain, saling menyemangati. Bukan sekadar menjadi teman yang ada saat suka, tetapi juga saling dukung dan terbuka dalam segala hal. Mereka berdua adalah sahabat terbaik yang aku punya.
“By the way, lo beruntung banget bisa jadian sama Kak Jovan. Padahal kan isu yang beredar, dia sama sekali nggak pernah terima pernyataan cinta dari siapa pun. Banyak banget cewek cantik yang berusaha deketin dia, termasuk Kak Merry, rekan satu timnya di olimpiade matematika dua tahun berturut-turut.”
“Beruntung apanya? Lo, kan, tahu sendiri gue sukanya sama Kak Arka!” kataku sedikit kesal. Bagaimana bisa Shinta malah iri padaku hanya karena kejadian tak masuk akal ini? “Eh, lo beneran sakit, nggak, sih? Kok kedengarannya enggak?” Tiba-tiba saja aku ingin memastikan.
“Lagi sakit gue.”
“Sakit apa, sih?”
“Sakit hati!”
“Yeee, punya pacar aja kagak. Sakit hati sama siapa lo?” “Sakit hati, kan, nggak harus punya pacar,” belanya. “Terus?”