Surat Cinta Tanpa Nama

Bentang Pustaka
Chapter #3

Salah Paham

"Jangan salah, sekadar menulis nama di surat cinta itu butuh keberanian loh."

Rapat OSIS kali ini terasa sangat berbeda. Kak Arka selaku ketua OSIS tak sehangat biasanya saat memimpin rapat.

Terasa canggung dan terlalu serius menurutku. Tidak ada tawa sama sekali selama rapat yang sudah berlangsung tiga puluh menit. Kak Arka juga tidak mengeluarkan ejekan humor yang biasa ia lontarkan untuk mencairkan suasana di tengah rapat.

Aku sebagai sekretaris OSIS turut duduk melingkari meja bundar ruang OSIS. Selama tiga puluh menit ini aku hanya diam tak seceria biasanya. Entah mengapa aku merasa Kak Arka seolah enggan berbincang denganku. Ia selalu melompati giliranku saat akan mengemukakan pendapat mengenai evaluasi pensi kemarin. Kurasa yang lain menyadari ketidakharmonisan kami, tetapi seolah mengabaikannya dan tidak mau memperburuk suasana.

Tidak banyak yang kucatat dalam rapat evaluasi ini. Pikiranku tidak sepenuhnya berpusat pada pembahasan materi rapat. Aku lebih sibuk memikirkan bagaimana cara menjelaskan kesalahpahaman kejadian kemarin. Aksi saling diam dan cuek antara aku dan Kak Arka terasa sangat menyiksa. Aku rindu humornya juga senyum menawan cowok itu.

Tiga puluh menit kemudian Kak Arka mengakhiri rapat dan berharap pensi tahun depan akan lebih baik lagi, mengingat masa jabatannya sebagai ketua OSIS akan segera berakhir. Kini ia sudah duduk di kelas XII dan akan lebih fokus menghadapi Ujian Nasional.

Aku belum beranjak dari dudukku, sementara yang lain sudah keluar dari ruangan. Kuperhatikan Kak Arka sedang merapikan alat-alat yang dijadikan peraga dalam rapat evaluasi tadi, kemudian menyimpannya ke dalam lemari.

Kuberanikan diri untuk memulai percakapan. Sampai kapan pun suasana canggung ini tidak akan hilang bila tidak ada seorang pun di antara kami yang mulai bersuara.

“Kak Arka, yang kemarin itu ....” Kalimatku menggantung, karena aku bingung harus bagaimana menjelaskannya.

“Kamu belum pulang?” tanyanya dingin sambil menatap ke arahku. Ia baru saja mengunci lemari yang berisi peralatan OSIS. “Mungkin aja udah ada yang nunggu kamu di depan,” lanjutnya masih dengan nada dingin.

“Bukannya kita janjian nonton bareng setelah acara pensi berakhir?”

“Oh, soal itu. Lupain aja!” sahutnya enteng sambil berjalan meraih tas ranselnya di atas meja bundar.

“Lupain? Kenapa?” tanyaku cepat. Berminggu-minggu aku menantikan bisa jalan berdua dengan Kak Arka dan dia dengan mudahnya menyuruhku untuk melupakannya.

“Aku nggak suka jadi orang ketiga!” tegasnya dengan nada penekanan di dua kata terakhir.

“Kak Arka salah paham. Yang kemarin itu—”

“Udah dulu, ya. Kalo kamu belum mau pulang, aku yang pulang duluan. Aku titip kunci ruang OSIS.” Kak Arka meletakkan sebuah kunci di atas meja bundar. “Jangan lupa dikunci, ya!” tambahnya lagi, lalu berjalan menuju pintu keluar dan menghilang di balik pintu tanpa kata-kata tambahan.

“Kak Arka, tunggu!” Aku berteriak percuma. Cowok itu tampaknya enggan untuk mendengar penjelasanku.

Sekarang aku bisa apa? Aku telah kehilangan perhatian dan juga senyumannya. Semuanya gara-gara cowok aneh itu. Bisa-bisanya dia melontarkan ucapan yang tak masuk akal.

Entah berapa lama aku belum juga beranjak dari ruangan ini. Ingin rasanya agar semua kembali normal. Tapi, sampai saat ini aku belum menemukan cara yang tepat untuk mengembalikan keadaan seperti semula.

“Belum pulang?”

Suara seseorang dari arah pintu membuatku menoleh ke sana. Aku melihatnya berdiri di sana, si cowok aneh yang menyebabkan kesalahpahaman ini. Cukup lama ia bersandar di pintu dengan gayanya yang sok keren. Tas ransel menggantung sebelah di pundak kanannya.

Lihat selengkapnya