Pria kurus itu hampir terjengkang saat Aisha tak sengaja menabrak tubuhnya. “Maaf, Pak.” Aisha mengangguk ramah. Lalu dia membantu pak Agus untuk kembali berdiri tegak.
“Kaget saya, Neng.” pak Agus mengusap dadanya sendiri.
Aisha tersenyum kering. Kemudian, dia segera berlari menuju lantai dua gedung sekolahnya. Sesekali Aisha melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu memang menunjukan pukul 06.57, itu artinya tiga menit lagi upacara bendera akan dimulai.
Namun, Aisha tidak mungkin berlari dan melewatkan Andra begitu saja, maka dia memilih berjalan dengan sedikit tenang, apalagi Andra tersenyum menyapanya.“Kok telat, Sha?”
Aisha mengangguk sembari tersenyum. “Iya nih.”
“Nggak bareng Irham?”
Dia menggelengkan kepala. “Duluan ya, Ndra.”
Aisha segera berlari kembali sesaat setelah Andra mengangguk mempersilahkan Aisha untuk pergi.
Namun, disaat Aisha sudah sampai di anak tangga kelima, tak sengaja dia berpapasan dengan Raihan. Sama seperti biasanya, Aisha tak pernah menyapa Guru olahraganya itu. Dia selalu menunduk setiap bertemu dengan Raihan.
“Aisha Fitria ….” Suara merdu Raihan mendarat di telinganya.
Aisha mendengkus sambil memutar bola matanya. Dia urung menaiki anak tangga selanjutnya, perlahan kakinya turun. Namun, setelah dia berbalik, tak ada satupun kata yang keluar dari bibir tipisnya. Aisha menunduk menunggu Raihan melanjutkan perkataannya.
Raihan naik tangga kembali, berjarak dua anak tangga, dia berdiri di depan Aisha, membuat Aisha lebih tinggi dari darinya.
Jantung Aisha berdebar, dia tidak suka dengan keadaan seperti ini. Tangannya meremas tali tas selempangnya. Apalagi saat Raihan menatapnya dari bawah seperti ini, membuat debaran di dadanya tidak nyaman.
“Saya cuma mau bilang, kalau ke sekolah jangan pakai parfum terlalu banyak, apalagi sampai menumpahkan satu botol ke baju kamu.”
Jantung Aisha terambau. Dia tidak pernah menduga, Raihan mengatakan hal seperti itu. Hawa panas akibat lari mengejar waktu, berubah dingin menusuk pori.
“Aisha Fitria, kamu meninggalkan wangimu di setiap jejak yang kamu lewati,” desisnya.
Aisha semakin tertunduk untuk menyembunyikan pipinya yang bersemu merah akibat malu. Bukan cuma hatinya, tubuhnya pun bergetar hebat.
Raihan memiringkan wajahnya untuk melihat apa yang hendak Aisha sembunyikan darinya. “Hati-hati, karena kamu telah mengundang pikiran liar lelaki,” bisiknya.
Jantung Aisha mencelus. ‘Astaghfirullah ... aku nggak ada maksud seperti itu.’ Raut wajahnya berubah sedih. Dia benar-benar tak mengira, Raihan akan berpikiran seperti itu. Aisha meringis. Kenapa hati Aisha harus merespon dengan sebuah perih?
"Itu Tabarruj, Aisha."
Dia menghela napas. Memang tak pernah ada pria yang memberikan perhatian sedalam itu padanya. Tapi, kenapa harus dari Raihan?
Aisha mencoba bersikap biasa, perlahan dia mengangkat wajahnya, menarik napas dalam dan berkata, “Terima kasih, Pak. Sudah diingatkan.” Aisha berbalik memegangi dadanya yang mendadak sakit, bahkan dia merasakan napasnya begitu berat. Hal itu berhasil meloloskan setetes air mata yang sudah tergenang di pelupuk matanya.
Aisha kembali berjalan menaiki tangga, menyeret kaki yang mendadak lemas. Dia melihat Inne sedang berdiri di tangga paling atas dan melewatinya begitu saja.