Inne menarik tangan Aisha yang sedang berjalan santai di koridor sekolah. “Mentang-mentang datang lebih awal, jalannya lama banget,” gerutu Inne.
“Apaan sih, Ne?” Aisha menyeret kakinya.
Inne terus menarik tangan Aisha dan berhenti di depan mading.
“Apa?” Aisha masih bingung kenapa dia harus berdiri di sini. “Bukannya mading yang baru itu minggu depan? Lagian ini udah sering kubaca, bosen,” dengkusnya.
“Sha ….” Inne menunjuk sebuah kertas HVS berukuran A4 yang menempel di mading dengan matanya.
“Apa sih?” Aisha menoleh. Jantungnya hampir lepas. Dia terperanjat dan mencopot kertas tersebut dengan kasar.
“Kamu tahu orangnya, Sha?”
Aisha mengangguk.
“Kita datengin,” ajak Inne.
Aisha masih mematung dengan sejuta kekesalan yang mendera. Tak pernah dia bayangkan dua bulan menjelang kelulusan, aib yang selama ini dia tutupi malah mencuat ke permukaan.
Dia menarik tangan Inne menuju kelasnya. Kaki yang mengentak pertanda kalau Aisha benar-benar murka.
Inne hanya mengikutinya tanpa banyak bertanya.
Sesampainya di kelas, Aisha menggebrak meja Anggi yang pura-pura sedang menulis.
Anggi mendongak menantang Aisha tanpa suara.
“Maksud kamu apa, Nggi?” Aisha meletakan kertas itu di meja anggi dengan kasar.
Namun, Anggi tak mengambilnya dia malah berdiri. “Gimana Sha? Udah malu? Atau kurang malu?” Anggi menyepelekan. Dia berdecak seraya melipat kedua tangannya di dada. “Ck, kamu biasanya malu-maluin sih.”
“Mau kamu apa Nggi? Kenapa kamu bongkar aibku di depan teman-teman?”
“Sengaja Sha, biar kamu tuh bisa memberi kenangan yang mendalam tentang diri kamu di depan semua teman satu sekolah, termasuk adik kelas.”
Aisha tak berani menampar atau menjambak jilbab Anggi, telapak tangannya terbuka dengan posisi mengambang di depan pipi Anggi.
Anggi menantang dengan menyodorkan pipi yang hendak di tampar. “Yakin, kamu bisa?” Dia mencebik.
Perlahan tangan Aisha turun. Air mata sudah lebih dulu membasahi pipi, ketimbang meluapkan kemarahan Aisha memilih menangis bersama kekecewaan.