Akhir-akhir ini memang Aisha tak menerima surat sesering dulu. Buku Mark Manson sudah selesai dia baca. Ada banyak pelajaran yang dia dapatkan.
Dengan keyakinannya Aisha akan berubah. Menjadi lebih baik untuknya, ayahnya, Irham dan calon Imam yang entah siapa, hanya Allah yang tahu. Dia tidak ingin para pria yang dia sayangi itu terseret karena dosa-dosanya. Apalagi ayahnya dan Irham yang selalu sabar memberitahunya, begitupun dengan calon imam yang selalu mengingatkannya pada kebaikan.
Aisha mulai memperbaiki caranya menutup aurat. Memakai jilbab panjang hingga perut, berpakaian longgar dan mengenakan kaus kaki setiap keluar rumah.
“Mau ke mana, Sha?” Abdulah meletakan buku yang sedang dibacanya.
“Ke depan, Pa.”
“Ke depan ke mana?” Abdulah merasa heran dengan penampilan Aisha yang bergamis lengkap dengan kaus kaki dan jilbab panjang.
Aisha tersenyum kering. “Ke warung bu Yuni.” Kemudian dia tertawa.
“Maa Syaa Allah cantik sekali anak papa.” Abdulah bangkit.
Aisha tersenyum menunduk. Aisha pamit ya. “Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Aisha berjalan keluar, tapi kemudian dia balik lagi. “Pa, apa penampilan Aisha nggak bakal jadi pusat perhatian?”
“Nggak apa-apa, itu karena mereka yang memperhatikan, belum terbiasa melihat Aisha yang sekarang.”
Aisha mengangguk. Dia kemudian berjalan pelan sembari menunduk. Dia memang belum percaya diri dengan penampilannya yang sekarang, tapi dia merasa aman dan nyaman.
Tempat yang Aisha tuju cukup jauh, mengingat rumah Aisha berada paling ujung.
“Assalamualaikum ….”
“Waalaikumsalam … Aisha?”
Asiha tersenyum ramah. “Bu Yun, kak Tary-nya ada?”
“Ada,” Yuni bangkit dari duduknya. “Sebentar ya, Ibu panggilin dulu.”
“Iya.”
Tak lama kemudian seorang perempuan berpakaian seperti Aisha keluar dari rumah yang lebih mirip seperti ruko. “Aisha?”
“Assalamualaikum kak.”
“Waalaikumsalam, masuk yuk.” Tary sedikit mengernyit, meski dia sendiri yang meminta Aisha datang, tapi penampilan Aisha membuatnya sedikit terpukau, mengingat seperti apa Aisha sebelumnya dengan jins ketat, dan jilbab yang tidak panjang seperti sekarang.
“Jadi gimana, Kak?” tanya Aisha tiba-tiba, setelah duduk di ruang tamu yang tak cukup cahaya, meski di luar panas terik dan menyilaukan. Mungkin karena di depan rumah ini adalah sebuah toko.
“Apanya?” Tary malah meninggalkannya.
Aisha mengedarkan pandangan, meski tidak seterang di rumahnya karena mendapat cahaya yang cukup dari luar, tapi cukup nyaman. Televisi LED tampak menyala menayangkan beberapa berita artis ternama.
Beberapa detik kemudian Tary kembali. “Ini ‘kan?” Meletakan beberapa brosur penerimaan mahasiswa baru di atas meja.
“Iya.” Aisha meraihnya.
“Aisha yakin, mau ke sana?”
“Memangnya kenapa, Kak?”
“Yakin PGTK? Nggak mau PGSD aja?”