Aisha membaringkan tubuh lelahnya di kasur. Tadi pagi dia mendapat surat ke-28 dan belum sempat membacanya. Dia yakin itu adalah surat terakhir yang dia dapatkan dari loker di sekolahnya. Jelas saja, acara tadi adalah acara kelulusannya. “Itu artinya?” Aisha memandangi pantulan wajahnya di cermin. “Apa aku akan tahu, siapa si pengirim surat, yang mengaku-ngaku calon imamku?” cicitnya.
Aisha merogoh tas dan mengambil sepucuk surat itu, membuka lipatannya perlahan, jantungnya mulai berdebar. Apa isi surat terakhir yang dia terima? Mungkin tentang ucapan selamat atas kelulusannya.
Mata Aisha fokus pada untaian kata yang terangkai menjadi sebuah kalimat indah.
Assalamualaikum, Aisha-ku.
Barakallah ya atas kelulusannya, apapun hasil yang didapat, percayalah itu yang terbaik. Usaha memang tidak akan menghianati hasil, tapi jangan lupakan Allah yang sudah menetapkan semua hasil usahamu.
Sha, kira-kira apa rencanamu selanjutnya? Apa mungkin kamu menungguku datang ke rumah? Setahun? Dua tahun? Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk siap menerima kedatanganku?
Jantung Aisha semakin tak karuan. Rasa penasaran semakin mendera, dia tak yakin sanggup menunggunya selama itu.
Aisha kembali membaca surat itu.
Sha, Sebenarnya saya ingin secepatnya datang ke rumahmu. Melamar dan meminangmu. Karena saya tak yakin bisa menunggu selama itu.
“Siapa sih, Kamu? Masa iya Andra? Sedewasa ini? Ck … nggak mungkin!” Aisha mencebik. Kemudian menggulingkan tubuhnya dan memeluk surat itu. Dia menggelengkan kepala, menolak dan meyakinkan diri bahwa surat dan paket-paket yang dia terima memang bukan dari Andra.
Jantung Aisha seperti menggelepar. Denyut nadi pun seperti tak biasa menerima kerja jantung yang lebih cepat dari sebelumnya.
Aisha kembali menatap surat itu lagi.
Sha, tunggu saya. Insya Allah, jika sudah waktunya, saya akan datang menjemputmu untuk menjadikanmu makmumku.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Tertanda calon imammu.
Aisha bangkit dan melompat kegirangan. Meski dia tidak tahu siapa orangnya, tapi dia yakin orang itu sangat sesuai dengan kriterianya.
“Sha?” Irham membuka pintu kamarnya.
“Astaghfirullah, maen masuk aja, ketuk dulu kek.” Aisha duduk, dia segera menyembunyikan surat itu di bawah bantal.
“Udah kali.”
“Mau apa?”
“Kayaknya cuma kamu deh yang dapat ucapan selamat, ciee ...”
Aisha mengernyit.
Dengan cepat Irham mengambil apa yang di sembunyikan Aisha di bawah bantal.
Aisha mendengkus sebal. “Hei itu rahasia.” Aisha berdiri mencoba merebut surat itu dari tangan Irham.
Senyum terus tersungging dari wajah Irham. Dia mencoba menghindar sembari terus membacanya isi surat itu.
“Ciee … pengagum rahasia. Calon imam. Ciee ... ,” goda Irham sembari menyikutnya. “Siapa?” bisiknya.
Pipi Aisha sudah memerah. Panas. Irham memang menjengkelkan, kenapa dia tidak bisa menghargai urusan pribadi Aisha, padahal adiknya itu tak pernah mengusiknya.
Irham mengempas tubuhnya di ranjang Aisha.
“Apaan sih, bangun! Kok tiduran di sini, sempit tau.”
“Sha, sekarang tanggung jawab kita besar loh.”