Aisha sibuk menyapu lantai, sementara Irham yang mengepel lantai, ia bergegas mandi dan bersiap-siap untuk berangkat ke kampus mendaftar menjadi mahasiswa baru PGTK.
Setelah semua persiapan selesai. Aisha menatap pantulan wajahnya di cermin. Kemudian melirik foto ibunya. “Ma, sekarang Aisha mau daftar kuliah, mama bangga ‘kan sama Aisha? Udah hampir empat tahun ya, mama pergi. Semoga mama dilapangkan kuburnya, diterima amal ibadahnya, di beri tempat terindah sama Allah.” Aisha menyeka air mata yang sudah turun membasahi pipi. Dia mengambil foto ibunya. “Wahai bidadarinya papa. Senyum mama akan selalu menjadi penguat buat Aisha.” Getaran suaranya terasa hingga menusuk ke relung hati Abdulah yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya yang sedikit terbuka.
Abdulah membatalkan niatnya untuk masuk. Dia menjadi sedikit emosional. Air mata yang sudah tergenang itu jatuh juga. Dengan segera dia masuk ke kamar. Menunduk dan melantunkan doa. “Ya Allah, jadikanlah anak-anak kami anak yang shalih dan shalihah yang selalu Engkau ridhoi.” Abdulah mengambil surat terakhir yang istrinya tulis untuk Aisha. Dia membacanya, tapi kemudian melipatnya kembali. “Belum saatnya.”
Mendengar Aisha mengetuk pintu, Abdulah segera memasukan surat itu kembali ke dalam kotak dengan asal.
Tergopoh dia berjalan menuju pintu. “Iya Ayo.”
Aisha melongo ke kamar Abdulah. “Papa lagi apa sih? Sampai nggak dengar Aisha.”
“Iya, maaf ya.”
Aisha mengekori Abdulah menuju pintu depan.
“Ham, papa sama Aisha berangkat ya.”
“Iya, Pa.”
“Oh iya, papa lupa beresin kamar, sekalian ya, Ham.”
“Oke, Pa.” Irham masih sibuk mencuci motornya.
“Kamu berangkat jam berapa?”
“Jam sepuluh, Pa.”
“Ya udah.” Abdulah sudah berada di atas motor. Diikuti Aisha yang duduk di jok belakang motor matic ayahnya.
“Dah Abang. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Irham menoleh sekilas, kemudian melanjutkan menyiram motornya dengan keran. Sesekali selang keran itu diarahkan pada tanaman-tanaman hias di depan rumahnya.
Tiba-tiba lantunan musik Memories dari Maroon five terdengar keras dari ponsel Irham.
Dia mendial panggilan yang datang dari Sugeng.
“Iyo Mas Sugeng ono opo?”
[Jam 11 jadinya Ham, nggak apa-apa ‘kan?]
“Iya.”
[Oke ditunggu.]
Irham memutuskan panggilan, meski tanpa persetujuan Sugeng.
Setelah motornya mengkilap. Dia masuk ke dalam dan teringat dengan pesan Abdulah untuk merapikan kamarnya.
Namun, begitu membuka pintu kamar. Dia terpaku pada sebuah kotak yang terbuka di bawah risbang dan selembar kertas di dalamnya membuat dia penasaran.
“Ini apa?” Dia mengambil kotak kayu itu. Dia yakin kertas di dalamnya itu baru saja dibuka, karena terpisah dari amplopnya. “Gimana kalau ini penting? Kenapa sih papa teledor banget?” dengkusnya.
Irham merasa penasaran dan membukanya. Matanya terbelalak dengan semua kalimat yang dituliskan almarhum ibunya itu. “Aisha?” Dia mengempas bokong di tepi ranjang. “Kok bisa?”
“Nggak-nggak, gue harus rahasiain ini dari Aisha, dia nggak boleh tahu sebelum waktunya, dan anggap gue juga nggak tahu ini semua.” Irham melipat surat itu, memasukkannya ke amplop dan menyimpannya di dalam kotak itu, lalu dia meletakan kotak yang sudah dia tutup itu ke bawah risbang.
***
“Papa, Aisha nggak jadi kuliah di sini!” Aisha mengentakkan kaki.
Abdulah urung menyalakan motor. “Kenapa?” Dia menoleh pada Aisha yang masih berdiri.
Aisha mengerucutkan bibir. “Nggak, aku nggak cocok.”
“Kita obrolin di rumah, sekarang kamu naik dulu, papa antar pulang.”
Aisha masih mematung.
Abdulah sadar. Aisha tetaplah Aisha, meski kini dia beranjak dewasa tapi sifat manjanya masih sulit dihilangkan.