SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #1

Bab 1 Kampus Merah

KAMPUS Merah, pertengahan Agustus 1999. Ketika kisah cinta ini dimulai dengan air mata.

Siang yang terik…

“Ulangi dan lebih keras!”

“Pasal satu, senior tidak pernah salah! Pasal dua, kalau senior salah, kembali ke pasal satu!”

 Suara itu terdengar dari arah Posko Neraka di lantai 2, ruangan paling ujung yang seluruh jendelanya tertutup kain hitam. Entah apa yang sedang terjadi di sana.

  Fakultas Sastra sudah ramai sejak pagi. Selain panitia yang sebagian besar memang sudah menginap berhari-hari di kampus, mahasiswa lain dari semua jurusan dan angkatan juga sudah bermunculan. Termasuk mereka yang sudah berbulan-bulan tidak pernah lagi terlihat batang hidungnya.

Bahkan alumni-alumni yang belum sepenuhnya siap melepas status mahasiswanya juga ikut berdatangan. Mereka berbaur bersama mahasiswa-mahasiswa di beberapa sudut fakultas seolah-olah juga masih berstatus mahasiswa.

 Hari ini memang salah satu hari paling spesial dalam kehidupan bermahasiswa. Hari ini, untuk pertama kalinya mahasiswa baru yang dinyatakan lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) menginjakkan kakinya di fakultas. Seperti angkatan-angkatan sebelumnya, mereka disambut dengan tradisi tahunan bernama pra-ospek.

Bagi mahasiswa senior, pra-ospek yang kemudian dilanjutkan dengan ospek selama tiga hari adalah tradisi yang sangat mengasyikkan dan selalu mereka tunggu-tunggu. Selama sepekan mereka akan bersenang-senang, banyak tertawa, atau kalau sedang beruntung mungkin jatuh cinta dan menemukan jodohnya.

Selama seminggu, para senior bisa melakukan apa pun dan memerintah mahasiswa baru sekehendak hatinya dengan berlindung di balik dua pasal senioritas yang membuat mereka tidak pernah berada di posisi bersalah.

Sementara bagi mahasiswa baru, ini akan menjadi hari-hari yang melelahkan bahkan terkadang dianggap menakutkan. Kecuali yang sedang sakit, punya riwayat penyakit, dan yang mendapat perlindungan dari Senior Mati Kiri—istilah untuk menggambarkan seorang senior yang sok jadi pahlawan di depan mahasiswa baru wanita—mereka semua harus merasakan bagaimana kerasnya latihan militer ala kampus serta melakukan apa pun yang diperintahkan kepadanya. Kalau lagi sial dan bertemu senior bermata merah atau mahasiswa semester 13 yang sepanjang tahun bolak-balik ke ruang jurusan sambil menenteng skripsinya yang belepotan coretan dosen pembimbing, nasib mereka bahkan bisa lebih buruk.

Dan, tidak ada yang lebih buruk dan lebih menakutkan dari pra-ospek jurusan. Penyambutan di tingkat jurusan dilakukan di dalam ruangan tertutup sehingga luput dari pantauan tim pengawas fakultas serta universitas. Dan di situlah aku pertama kali bertemu Puspa.

Bersama mahasiswa baru Ilmu Sejarah lainnya, Puspa saat itu baru saja bersantap siang. Dia sedang asyik mengobrol bersama teman-teman seangkatannya saat aku masuk ke ruangan dan memanggilnya.

“Hei kau!” teriakku.

Untuk beberapa saat, Puspa dan teman-temannya saling berpandangan sebelum gadis itu menoleh kepadaku sembari mengacungkan tangannya dengan ragu-ragu. “Aku, Kak?”

“Ya, kau. Kemari.”

Puspa yang bersimpuh di lantai buru-buru berdiri, membersihkan bagian belakang celananya dengan tangan, kemudian melangkah ke arahku.

“Namamu siapa?” tanyaku sambil menarik kursi dan duduk di atas sandarannya.

“Puspa, Kak,” jawabnya.

“Nama lengkapmu?”

“Puspasari.”

Aku menatap wajah Puspa yang berdiri dengan canggung di hadapanku. Kami bersitatap sejenak sebelum dia menundukkan kepalanya.

“Kenapa kau menunduk? Apa kau tidak suka melihatku? Apa aku jelek? Apa aku buruk rupa?” tanyaku.

Lihat selengkapnya