SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #2

Bab 2 Persoalan Hati

AKU lahir sebagai laki-laki penyuka hujan. Saat masih kanak-kanak, aku terkadang bahkan sengaja menunggunya di malam hari. Bagiku, hujan seperti suara malaikat pengantar tidur paling indah yang membuat aku tak lagi membutuhkan dongeng untuk terlelap setiap malam selama Desember hingga Maret.

Aku juga menyukai hujan sore. Hujan sore hari bagiku laksana tangan-tangan kebajikan yang merangkul dan menyatukan kami sekeluarga. Ketika hujan turun di sore hari, kami sekeluarga akan berkumpul di serambi depan, menikmati pisang goreng dan teh panas buatan Ibu sembari mendengarkan Ayah bercerita tentang masa mudanya di Kota Kelelawar, Kabupaten Soppeng.

Ayah kami punya banyak sekali stok kisah yang ia ceritakan sepanjang hujan sore selama bertahun-tahun. Tentang masa kecilnya. Tentang masa-masa sekolahnya di SPG. Hobinya bermain bola. Pemberontakan dan penumpasan DI/TII. Pembakaran rumah kakek kami oleh gerilyawan. Pengalamannya menyadap aren di hutan dan menjala ikan di sungai bersama Kakek. Hingga cerita tentang adiknya yang bernama Pinokio.

Setelah Ayah menyelesaikan ceritanya yang sesekali ia selingi dengan permainan seruling dan harmonika, giliran Ibu yang harus kami dengarkan. Ibu paling sering bercerita tentang kakek kami yang seorang pedagang dan tuan tanah yang berhaji menggunakan kapal laut KM Gunung Jati, serta impiannya sendiri untuk berhaji dan melihat kami putra-putranya kelak menjadi orang sukses.

Aku juga menyukai hujan pagi, bahkan yang sambung-menyambung berhari-hari dan membuat kampung kami terkepung banjir. Buat kami anak kampung, banjir adalah hiburan sekali setahun yang menyenangkan. Kami bisa berenang sepuasnya sepanjang hari, bermain perahu batang pisang dengan riang gembira hingga perut keroncongan, atau sesekali melompat ke sungai berair deras untuk menguji nyali kami sebagai anak kampung. Dan tentu saja kami senang karena hujan pagi yang turun berhari-hari akan membuat sekolah kami ikut kebanjiran dan terpaksa diliburkan.

Tapi itu dulu. Di kampung. Saat layar televisi masih hitam putih dan belum pernah menayangkan berita banjir bandang yang mengerikan. Sejak manusia-manusia serakah mulai merusak hutan, hujan sudah berbeda. Kadangkala malah sudah menjadi musuh dan menyebalkan.

Seperti siang ini. Hujan membuatku kembali telat tiba di fakultasku. Sama seperti kemarin, hari ini, lagi-lagi hujan yang mengguyur sejak malam memaksa aku harus memutar jalan melewati Fakultas Teknik, MIPA, gedung akademik, D3 Pariwisata, serta FISIP.

Dan tentu saja aku nyaris kuyup.

Tapi memang begitulah nasib mahasiswa kelas menengah ke bawah. Terpanggang panas saat kemarau dan kehujanan ketika musim hujan. Apalagi, bagi mereka yang mengaggap berpayung ke kampus menyalahi kodrat sebagai laki-laki sejati. Jadi, tidak perlu kasihan padaku.

Aku mengeringkan tubuhku dengan ujung baju di lantai 1 sambil berdoa dosen yang akan mengajar siang ini terjebak macet karena genangan air di sepanjang Jalan Perintis Kemerdekaan. Sebelum tubuhku benar-benar kering, seseorang berteriak memanggil namaku. Saat aku menoleh, akau mendapati Ria melambaikan tangan ke arahku dengan bersemangat.

Ria sebenarnya bukan mahasiswa Kampus Merah, tapi kami sangat akrab. Selain karena tetangga kos dan sama-sama berasal dari Barru, dia juga kekasih seniorku dan beberapa kali ikut kegiatan himpunan kami.

“Tidak ke kampus?” tanyaku setelah aku menghampirinya.

Ria menggeleng.

“Kak Neal mana? Kok sendirian?”

“Dia sedang kuliah,” jawabnya.

“Oh, jadi kau memanggilku untuk menemanimu menunggunya?”

“Bukan. Aku datang ke sini memang untuk mencarimu,”

“Serius?”

Ria mengangguk.

“Ada apa?” tanyaku. Aku masih mengeringkan tubuhku. Ria membuka tasnya lalu mengambil bungkusan tisu dan menyerahkannya kepadaku.

“Persoalan hati,” katanya setelah aku mengembalikan sisa tisunya.  

“Kau ada masalah dengan Kak Neal?”

“Bukan hatiku, Mario. Tapi hati gadis itu,” kata Ria seraya menelengkang kepalanya ke arah tiga mahasiswa perempuan yang sedang mengobrol di ujung koridor.

Aku ikut menoleh sejenak lalu kembali menatap Ria.

“Maksudmu? Aku tidak mengerti.”

“Gadis itu menyukaimu.”

“Ketiganya?” tanyaku. Sebelum Ria menjawab pertanyaanku, aku melanjutkan, “inilah yang aku takutkan sejak dulu. Pesona ini terlalu berbahaya bagi gadis-gadis lemah iman. Kuharap kelak mereka bisa akur satu sama lain karena aku tidak yakin bisa memperlakukan mereka dengan adil.”

Ria mencibirku. Wajahnya benar-benar menjengkelkan.

“Kau harus sering-sering bercermin, Mario. Tidak baik kalau kau selalu menganggap dirimu gagah. Terimalah takdirmu. Jatah tampanmu dari Tuhan memang hanya lima puluh satu persen.”

Aku sebenarnya ingin protes karena menurut Bu Mina, tetanggaku di kampung, aku anak Ibuku yang paling manis. Tapi tidak ada gunanya berdebat dengan Ria. Lagi pula, dia masih memasukkan aku dalam kategori ganteng meski hanya satu persen.

“Kalau begitu, siapa di antara gadis-gadis itu yang sedang sial karena jatuh cinta pada pria bertampan kurang maksimal seperti aku?”

“Puspa,” jawabnya setengah berbisik. Seolah-olah dia khawatir ada orang lain yang mendengarkannya. Padahal, selain kami, di tempat itu tidak ada lagi orang lain.

Lihat selengkapnya