SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #3

Bab 3 Penolakan Kedua

KUPIKIR urusan hati Puspa denganku sudah berakhir. Sebagai perempuan yang memiliki posisi istimewa dalam hubungan percintaan—karena konon mereka dilahirkan dengan takdir dikejar pria—gadis itu pasti sangat malu padaku.

Kalau pria yang menolak cintanya masuk kategori gagah, soleh, berprestasi, atau bermobil, mungkin malunya tidak akan seberapa. Bisa dbilang, menaklukkan hati tipe pria semacam ini memang cukup sulit. Peluang gagalnya sangat besar dan  pesaingnya banyak. Tapi kalau pria itu seperti yang digambarkan Ria, jatah tampannya dari Tuhan hanya lima puluh satu persen, mahasiswa berandalan, dan hanya jalan kaki ke kampus setiap hari, penolakan itu akan seperti sebuah penghinaan. Terlalu memalukan bagi seorang wanita. Dan akan semakin memalukan lagi kalau sang gadis ternyata masih terus berharap apalagi sampai mengemis-ngemis agar cintanya diterima.

Sepekan setelah aku menolak cintanya, aku dan Puspa hanya bertemu sekali. Saat itu, kami secara tidak sengaja berjumpa di depan kantor jurusan. Hari itu, aku menemani Ibram, teman angkatan sekaligus sahabatku di kampus. Siang itu, Ibram ingin bertemu Pak Rus, ketua jurusan Ilmu Sejarah. Sementara Puspa bersama teman-teman angkatannya datang ke kantor jurusan untuk menyetor tugas kuliah mereka kepada salah seorang dosen.

Aku sedang menunggu Ibram di depan kantor jurusan di lantai tiga saat Puspa muncul dari dalam. Gadis itu langsung menghampiriku dan kami mengobrol. Itu adalah obrolan yang kikuk dan sekadar basa-basi tak bermutu. Aku bertanya tentang kabarnya lalu dia balik bertanya dengan pertanyaan sama. Setelah itu, kami sama-sama terdiam. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing sambil menatap jauh ke arah jejeran pohon jati putih yang ditanam mahasiswa Kehutanan tahun lalu. Aku tidak tahu harus bertanya apa lagi pada Puspa. Tidak mungkin bertanya tentang pacar. Selain menurutku kurang sopan, jawabannya juga sudah  sangat jelas. Puspa saat ini berstatus jomlo. Lagi pula, pertanyaan soal hati memang tidak pas setelah aku menolak cintanya. Itu sama saja membuka kembali luka lama atau bahkan mungkin menambah luka baru lagi. Puspa juga pastinya sudah tahu kalau hatiku saat ini masih tanpa pemilik. Makanya, ia juga tidak berusaha mengoreknya.

Syukurlah, sebelum aku benar-benar kehabisan ide dan merusak obrolan kami dengan bertanya tentang nama latin pohon jati putih, Ibram muncul. Suasana langsung berubah 180 derajat. Sahabatku ini memang sosok yang hampir tidak pernah diam kalau bertemu perempuan. Ia bisa berceloteh tentang apa pun seolah-olah paham segala hal. Bakatnya itu membuatnya dikenal sebagai seorang playboy ulung. Sejak masih sama-sama berstatus mahasiswa baru hingga akhirnya kami bersahabat, aku sudah tidak bisa lagi menghitung berapa banyak gadis yang pernah ia rayu di hadapanku. Dan saat melihat Puspa, penyakitnya itu langsung kambuh. Makanya, gadis itu buru-buru pergi begitu teman-temannya muncul di pintu.

Sejak itu, aku sudah tidak pernah lagi bertemu Puspa di kampus dan sudah kusimpulkan kalau dia sudah mengubur perasaan cintanya kepadaku. Mungkin dia berpikir tidak ada gunanya mengharapkan cintaku. Atau boleh jadi juga dia akhinya menyadari kalau aku memang bukan sosok yang tepat untuk dijadikan kekasih. Semoga saja dia tidak mengutuki dirinya karena hatinya sempat terkecoh dan jatuh cinta padaku.

Tapi ternyata aku keliru. Puspa ternyata belum menyerah. Hari ini, dia tiba-tiba datang menemuiku di bawah tangga lantai 1 FIS 4. Tempat ini salah satu tempat nongkrong favoritku di kampus. Modelnya seperti sebuah terowongan dengan meja batu di bagian tengah. Sehari-hari meja itu kami gunakan untuk bermain domino. Kursi-kursi kayu yang sandarannya sudah rusak karena usia atau sengaja dirusak kami gunakan sebagai tempat duduk. Sisi depan area bawah tangga itu menjadi wilayah “kekuasaan” Mache Salma, pedagang kali lima yang sudah bertahun-tahun berjualan mie instan plus lontong di Fakultas Sastra. Oh ya, Mache dalam bahasa gaul di Makassar berarti ibu.

Tempat jualan Mache Salma selalu ramai. Bukan hanya kami yang memang sehari-hari nongkrong di situ dan sudah menjadi langganan tetapnya—termasuk langganan berutang—tapi juga ramai oleh mahasiswa lain yang sekretariat himpunannya persis berada di samping tangga. Bahkan, tidak jarang mahasiswa-mahasiswa FISIP juga ikut makan atau memesan makanan di tempat Mache Salma. Pokoknya, Mache Salma idola bagi banyak mahasiswa yang butuh makanan simpel, murah, dan bisa dibayar di awal bulan berikutnya atau bahkan sepuluh tahun setelah sarjana.

Selain itu, terowongan bawah tangga ini merupakan jalur potong kompas ke jalan kampus atau parkiran rektorat. Dan dari situlah Puspa muncul bersama Nia, teman seangkatannya.

Awalnya aku mengira Puspa dan Nia hanya ingin melintas. Tapi ternyata mereka berhenti dan duduk bersamaku. Aku sempat berpikir untuk pergi, namun kuurungkan. Aku tidak ingin menyinggung perasaan Puspa dan membuatnya berpikir kalau aku sengaja menghindarinya. Hubungan kami sudah baik dan aku tidak ingin merusaknya lagi.

“Sepertinya ada gadis cantik yang sedang mencari aku,” kataku bercanda. Puspa tersipu malu. Dia tahu kalau yang aku maksud adalah dirinya.

“Ini, Kak,” kata Nia sembari menunjuk Puspa yang duduk di sampingnya.

Aku tersenyum. Puspa juga tersenyum malu-malu. Sejenak aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Sepertinya mereka ingin mengatakan sesuatu, namun tidak ada yang berani berbicara lebih dulu.

“Ada apa?” tanyaku penasaran.

Nia menyikut lengan Puspa, memintanya untuk segera bicara. Namun, gadis itu tampak ragu.

“Ada apa?” tanyaku kembali. Aku tersenyum melihat tingkah mereka.

“Kak Mario ada kuliah siang?” Nia balik bertanya.

Aku menggeleng. “Tadi pagi sudah.”

“Kalau begitu, temani kami ke Bamboo House, Kak.”

“Wah, sepertinya ada yang mau mentraktir makan siang, nih.”

“Puspa, Kak,” ujar Nia.

Aku menoleh ke arah Puspa. Ia mengangguk pelan seakan-akan khawatir aku akan menolak ajakannya.

Lihat selengkapnya