DULU, Ibuku punya dua impian besar dalam hidupnya. Pertama, ia ingin menunaikan ibadah haji dan sudah menabung selama bertahun-tahun. Kedua, Ibuku menginginkan aku menjadi seorang dokter seperti beberapa sepupuku.
Sama seperti keinginannya mengunjungi Baitullah, Ibuku sangat yakin aku bisa menjadi dokter dan membanggakannya. Sejak Sekolah Dasar aku memang sudah digembleng untuk menjadi pintar sehingga bisa bercita-cita apa pun. Ketika anak-anak seumuranku masih tertidur lelap, Ayah sudah membangunkan aku untuk belajar sembari menunggu waktu salat subuh.
Agar tidak mengantuk saat sedang belajar, Ayah menyiapkan sebaskom air yang aku pakai untuk merendam kaki. Itu aku lakukan selama bertahun-tahun hingga akhirnya lingkungan dan pergaulan menghancurkan mimpi ibuku.
Seminggu setelah tamat SMA, aku sudah menjadi buron kasus penganiayaan. Selama lebih dari setahun, aku harus lari dari rumah agar tidak mendekam di balik jeruji penjara. Hari ketika aku terpaksa meninggalkan rumah, aku benar-benar tidak kuasa melihat kesedihan di mata ibuku. Itu adalah salah satu pemandangan paling menyedihkan dan momen terburuk yang pernah aku saksikan dalam hidupku.
Hari itu aku sempat menolak untuk kabur. Tapi Ayah yang menyayangiku melebihi apa pun yang ia miliki di dunia ini terus memaksaku dengan raut wajah khawatir karena polisi-polisi yang mencariku masih berkumpul di jalanan depan rumah kami.
“Pergilah, Nak,” kata ayahku saat itu. Ia tidak tega mengatakan kalimat itu, namun rasa sayangnya kepadaku memaksanya untuk mengucapkannya.
“Tapi ke mana?” tanyaku dengan nada cemas. Saat itu, aku begitu takut dan khawatir. Aku tidak tahu harus berbuat apa dan akan menghadapi apa di luar sana. Sejak bayi, paling lama aku hanya pernah terpisah selama lima hari dengan ayah dan ibuku. Saat itu aku sedang mengikuti kegiatan pramuka di Tana Toraja.
“Ke mana saja asalkan kau tidak tertangkap,” tegas ayahku. Di belakangnya, berdiri ibuku dengan mata berkaca-kaca. Seakan-akan aku akan pergi untuk selamanya dan hari itu menjadi pertemuan terakhir kami.
Berbekal uang yang diberikan Ayah dan pakaian yang melekat di tubuhku, hari itu aku memulai hidup sebagai buron. Berpindah dari satu kota ke kota lainnya sebelum akhirnya memutuskan menetap di Makassar.
Selama pelarianku, hari-hariku dipenuhi penyesalan. Aku menyesal sudah menghancurkan impian ibuku. Selain itu, aku menyesali kenakalanku. Tapi seperti kata pepatah, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya sudah terjadi dan aku hanya bisa menyesali kebodohanku
Sebagai anak bungsu yang super manja, aku benar-benar merasakan penderitaan luar biasa jauh dari rumah dan orang tua. Berkali-kali aku didera perasaan putus asa sehingga terlintas pikiran untuk menyerahkan diri. Apalagi saat itu aku sebenarnya merasa tidak bersalah. Aku hanya berada di tempat dan waktu yang salah. Tapi setelah kupertimbangkan kembali, aku memilih melanjutkan pelarianku. Aku tidak mau membuat ibuku semakin sedih dengan melihatku mendekam di balik jeruji. Sudah cukup aku mengecewakannya. Aku tidak perlu lagi menambah deritanya.
Setahun lebih dalam pelarian, dera rindu menjadi hal tersulit yang harus aku hadapi. Aku sungguh-sungguh merindukan ibuku. Terkadang aku bahkan menangis dalam tidur malamku tanpa tahu apa penyebabnya. Tuhan seolah-olah sedang menghukumku dalam tidur karena perbuatanku yang benar-benar dibenci-Nya.
Aku beruntung masih bisa kuliah.
“Kau benar-benar beruntung, Bro.” Ibram menepuk punggungku membuat wajah ibuku seketika menghilang dari pelupuk mataku.
Tadinya kupikir Ibram tidak tertarik membahas topik tentang Puspa. Karena setelah dia berhasil memaksaku menceritakan apa yang terjadi antara aku dan Puspa siang tadi, ia langsung meninggalkanku untuk mandi.
Sejam yang lalu kami sudah selesai membersihkan dan mengecat kamar yang akan ditempati adik sepupunya yang akan datang ke Makassar. Sambil beristirahat di ruang tamu, Ibram mulai mendesakku bercerita soal makan siangku bersama Puspa yang berakhir menyedihkan bagi gadis itu.
“Beruntung bagaimana maksudmu?” tanyaku setelah Ibram duduk di sampingku di kursi.
“Mungkin gadis itu butuh kacamata,” ujar Ibram.
Kami berdua tertawa.
“Aku juga sebenarnya heran dengan gadis itu. Tapi kalau menurut ibuku, aku memang punya daya tarik terselubung. Makanya, jangan heran kalau....”
“Jangan diteruskan.”
“Kenapa?”
“Aku tidak ingin muntah.”
Ibram berdiri kembali kemudian masuk ke kamarnya. Tak sampai lima menit ia sudah muncul lagi. Kali ini, ia sudah berpakaian rapi dan mengenakan jaket.