SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #5

Bab 5 Bukan Omong Kosong

TERNYATA bukan omong kosong. Puspa ternyata benar-benar menantang dirinya untuk menaklukkan hatiku.

Sembari bersandar di dinding, aku memegangi keningku. Sementara Ria yang duduk di bibir ranjang memperhatikanku sambil tersenyum. Sepertinya dia sangat senang melihat aku pusing tujuh keliling memikirkan kenekatan Puspa.

Apa sebenarnya yang diinginkan Puspa? Aku tidak yakin dengan  kecurigaan Ibram soal balas dendam. Menurutku itu pemikiran ngawur dan terlalu mengada-ada. Tapi untuk apa dan apa yang membuat Puspa begitu ngotot ingin menjadi kekasihku.

Aku mengeluh pelan. Menggeleng. Gadis itu benar-benar keras kepala, pikirku.

Lima belas menit lalu, Ria tiba-tiba muncul di depan kamarku seperti seorang kurir kerajaan dari negeri dongeng yang datang membawa pesan; perang atau bayar upeti setiap malam bulan purnama. Dua pilihan yang ditawarkannya benar-benar sulit.

“Serius dia bilang begitu?”

Ria mengangguk lalu tersenyum lagi. Benar-benar menyebalkan. Dia sama sekali tak peduli dengan kesusahanku.

“Pokoknya, kau terima dia jadi kekasihmu atau dia akan berpacaran dengan Randy,” tegasnya sekali lagi.

 “Parah.”

Aku, Ria, dan ratusan mahasiswa yang tinggal di kawasan pondokan tahu seperti apa kelakuan Randy. Kalau kalian pernah mendengar istilah penyalahgunaan ketampanan dan warisan orang tua, Si Randy ini termasuk golongan itu. Bahkan, ia sudah berada di level paling lihai. Jam terbangnya dalam hal menyakiti hati perempuan sudah susah dihitung. Aku sendiri pernah melihat tiga gadis keluar bersamaan dari kamarnya sambil sesunggukan. Mereka tersakiti.. Hancur.

Randy ini tipe playboy kelas dewa. Mungkin hanya King Edward VII—yang konon pernah menjalin hubungan dengan setidaknya 18 ribu wanita—yang mengalahkannya untuk urusan perempuan. Cuma, aku tidak tahu apakah King Edward VII juga menyakiti para wanita itu atau ini semacam simbiosis mutualisme. Hubungan asmara yang saling menguntungkan.

“Apa dia sudah tahu siapa si Randy ini?” tanyaku. Aku ngeri membayangkan kalau Puspa masuk perangkapnya. Kesimpulan akhirnya hanya satu. Dia pasti akan patah hati. “Maksudku, apakah dia tahu seperti apa kelakuan bajingan itu?” 

Ria mengangguk.

“Kalau begitu harusnya tidak ada masalah,” ucapku sedikit tenang.

Ria menatapku dengan mata membelalak seperti seorang yang merasa dirinya sudah tertipu selama bertahun-tahun karena menganggapku cerdas sementara kenyataannya aku hanya orang bodoh yang bahkan tidak mengetahui kalau lima ditambah lima sama dengan sepuluh.

“Maksudku, Puspa tidak mungkin mau menerima cintanya meskipun  si Playboy itu mencoba mendekatinya.” Aku buru-buru mengklarifikasi ucapanku. Sungguh, aku tidak menyukai cara Ria menatapku.

“Dengarkan aku,” tegas Ria. Tatapannya berubah menjadi menggurui. Aku menunggu sambil menggerutu dalam hati. “Perempuan yang sedang patah hati itu sangat gampang luluh Mario. Kami ini kaum yang lebih perasa, kau harus tahu dan pahami itu. Itu… ya semacam kodrat. Beda dengan kalian para pria yang kurang peka terhadap perasaan.”

“Ah, kata siapa?”

Ria melotot menatapku. Rahangnya tampak mengeras. Dia seperti sedang berusaha keras menahan dirinya agar tidak lepas kontrol dan menerjangku. Aku tersenyum. Aku suka melihat wajah Ria kalau sedang marah.  

“Tenang, tenang,” Aku melangkah menghampirinya dan ikut duduk di ranjang. Ria mendengus ke arahku, dongkol karena aku bercanda.

“Ayolah Mario. Kau seriuslah sedikit. Aku sudah menganggap Puspa seperti adikku sendiri dan orang tuanya menitipkan dia kepadaku. Aku tidak ingin dia jatuh ke tangan pria yang salah apalagi lelaki bejat seperti Randy.”

Lihat selengkapnya