SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #6

Bab 6 Kencan Pertama

SELAMAT. Aku putuskan mengakhiri status jomlomu. Jam 8 malam Puspa menunggumu di depan Pondok Femme. Jangan coba-coba berpikir tidak ingin datang, karena kau akan dapat masalah besar.

Itulah yang ditulis Ria di secarik kertas yang ia letakkan di atas meja dan malam ini, aku sudah resmi menjadi kekasih Puspa. Aku tidak tahu apakah ini awal yang baik atau permulaan yang buruk. Satu yang pasti, ini akan menjadi salah satu kisah cinta paling aneh. Bulan yang mengintip dari balik awan hitam yang menyelimuti langit bahkan terlihat seperti orang bengong dan kebingungan.

Aku dan Puspa duduk berdua di tembok pembatas kanal persis di depan Pondok Femme. Sejak selesai dibangun tiga bulan lalu, tembok pengaman kanal ini menjadi salah satu tempat nongkrong dan pacaran mahasiswa serta warga yang bermukim di sekitar kampus.

Sepanjang sore hingga menjelang dini hari, tembok sepanjang dua kilometer ini nyaris tidak pernah sepi dari orang yang sedang berpacaran.

Ria sudah masuk kembali ke kamarnya lima menit yang lalu. Dia bilang tidak ingin mengganggu malam pertama kami sebagai sepasang kekasih. Tapi itu hanya di bibirnya. Sudah dua kali dia mengintip kami melalui jendela kamarnya dan itu benar-benar menggangguku. Aku merasa seperti diawasi Ibu RT yang sedang mengumpulkan bahan bergunjing untuk ibu-ibu kompleks.

Puspa duduk di samping kiriku. Dua gelas sarabba dan sepiring ubi goreng mengantarai kami. Tadi Ria membisikiku, katanya ini kencan dadakan dan hanya itu yang bisa mereka siapkan.

Malam ini, Puspa mengenakan rok midi bermotif bunga-bunga dan kaos oblong himpunan yang dia beli mahal saat mengikuti ospek. Sebagaimana aku, Puspa juga tidak terlalu siap untuk kencan pertama kami sehingga hanya mengenakan pakaian ala kadarnya. Ini memang terlalu mendadak. Bahkan, kalau bukan karena mengkhawatirkan kebiasaan uring-uringan Ria, aku mungkin hanya akan mengenakan celana bola.

Angin malam mengibaskan-ibaskan rambut Puspa yang pendek. Dengan jarak kami yang cukup dekat, aku bisa mencium bau harum rambut serta wangi segar khas buah dari parfum shower to shower yang sepertinya dia pakai dengan sedikit berlebihan.

“Boleh aku merokok?” tanyaku memecah keheningan serta suasana canggung di antara kami. Terus terang, aku memang agak grogi. Setelah dicampakkan Ririn dua setengah tahun lalu, aku sudah tidak pernah lagi berpacaran. Bukan karena trauma dan patah hati, tapi aku telanjur merasa nyaman bergaul dan hidup bebas.

“Silakan.” Puspa menoleh kepadaku lalu tersenyum.

Aku balas tersenyum sebelum membakar rokokku.

“Apa sebenarnya yang kau suka dariku?” tanyaku setelah mengisap rokokku dua kali. Asap mengepul di depan wajahku sebelum menghilang tertiup angin malam yang dingin.

Puspa mengangkat bahunya.

Aku langsung kehabisan bahan obrolan. Seharusnya dia menjawab hidung atau lesung pipiku. Aku berhidung mancung dan punya lesung pipi yang kata ibuku membuatku terlihat lebih menarik. Atau Puspa bisa memuji tahi lalat kecil di bagian bawah mataku. Pokoknya, apa saja yang penting jangan sekadar gerakan bahu karena itu biasanya dianggap sebagai bentuk keragu-keraguan.

Kami berdua terdiam.

Seorang pemuda yang baru saja datang bersama pacarnya dan duduk beberapa meter dari kami menghampiriku. 

“Bisa pinjam koreknya?”

Aku mengangguk lalu menyodorkan korek yang masih ada di tanganku. Pemuda itu membakar rokoknya lalu berterima kasih dan bergegas kembali ke tempat duduknya. Kekasihnya menyambut dengan menjulurkan tangan. Dia meminta tempat rokok yang dipegang pemuda tersebut. Pemuda itu sempat menolak, namun ketika melihat mata kekasihnya yang melotot, ia langsung menyerahkan sisa rokok yang dipegangnya kemudian menoleh kepadaku dengan ekspresi malu-malu. Bro, beberapa tahun lagi kau akan bergabung di organisasi ISTI (Ikatan Suami Takut Istri).

Perhatianku teralihkan dari pemuda itu ketika mendengar Ria mendadak menjerit. Kepalanya terantuk saat mencoba mengintip kami dari sela-sela jendela. Dia meracau beberapa saat sebelum menarik kembali kepalanya.

“Rasakan!” teriakku.

Ria mengacungkan tinjunya keluar jendela. Aku tersenyum. Puspa ikut tersenyum. Lalu, kami berdua kembali terdiam.

“Bagaimana....?”

“Apa yang kau....?”

“Silakan, diteruskan,” kataku.

“Kau duluan.”

“Perempuan harus didahulukan. Bertanyalah.”

“Tapi kau jangan marah,” ujar Puspa. Dia menatap bola mataku. Kemudian, rambutku.

Lihat selengkapnya