SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #7

Bab 7 Rencana Puspa

KETUKAN pelan di pintu membangunkanku. Saat aku membuka mata dan menoleh, aku menemukan Puspa sudah berdiri di depan pintu sambil tersenyum.

“Kau?” Aku buru-buru bangkit dari ranjang dan menghampirinya di pintu kemudian mengintip ke arah teras depan. Kupikir Ria bersamanya. Tapi tidak ada siapa pun di sana. Hanya hamparan rawa dan pohon nipa. “Mana Ria?”

“Kak Ria sudah berangkat ke kampus sejak tadi.”

Aku menoleh ke belakang untuk melihat jam weker yang tergeletak di lantai. Astaga, ternyata sudah pukul sembilan. Aku lupa menyetelnya saat akan tidur dini hari tadi. Jangankan menyetel weker, aku bahkan tidak menutup pintu kamarku.

“Ayo masuk, aku mandi dulu.”

Aku menarik handuk yang menggantung di depan kamarku lalu buru-buru ke kamar mandi. Lima belas menit kemudian, kami sudah berjalan beriringan menuju ke kampus.

“Maaf kalau aku tiba-tiba datang ke kamarmu.”

“Aku yang harus meminta maaf karena tidak menepati janji. Semalam aku begadang sehingga telat bangun.”

“Oh,” ujarnya nyaris tidak terdengar.

Kami berhenti sejenak di halte pondokan. Kendaraan sedang ramai dan dua mobil berhenti tepat di depan kami. Sopir Petepete kampus 07 jurusan Jl AP Pettarani yang baru menurunkan penumpang berteriak memanggil kami sembari membunyikan klakson. Saat melihat aku menggeleng, dia langsung tancap gas. Sepertinya dia tengah mengejar setoran. Setelah jalanan sepi, kami menyeberang jalan, lalu potong kompas di tengah lapangan sepak bola mini yang mengarah ke rektorat melewati bagian belakang Fakultas Teknik.

Sambil berjalan, aku berdoa dalam hati, berharap mahasiswa Teknik Perkapalan yang sering iseng menyiuli pasangan yang melintas di belakang gedung fakultas mereka belum tiba di kampus. Aku mendongak ke bagian atas gedung saat kami melintas di belakang gedung Teknik Perkapalan. Syukurlah. Balkon di atas lab mereka masih kosong.

“Sibuk tidak sebentar siang?” tanya Puspa.

Aku berpikir sejenak. “Sepertinya tidak. Kenapa?”

Puspa tidak langsung menjawab. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu. Aku tidak ingin mengganggunya. Sampai kami melintas di belakang Fakultas Teknik, dia belum menjawab pertanyaanku.

“Kenapa?” Aku mengulang pertanyaanku saat kami sudah tiba di dekat gedung rektorat.

“Aku janjian ketemu teman di Mal Ratu Indah.”

“Siapa?”

“Teman.”

Aku tidak ingin mendesaknya menjelaskan siapa teman yang ia maksud.

“Apa kau mau ditemani?”

Puspa mengangguk. “Kalau kau tidak kuliah dan tidak ada kegiatan lain.”

“Baiklah,” kataku. “Aku di bawah tangga.”

Kami berhenti di depan gedung rektorat. Ada iring-iringan mobil pejabat kementerian dan pemprov yang masuk ke area rektorat dan satpam menghentikan kami. Setelah seluruh mobil masuk ke halaman rektorat, kami melanjutkan perjalanan ke Fakultas Sastra yang hanya berjarak sekitar 50 meter lagi dari gedung rektorat.

Aku dan Puspa baru berjalan beberapa langkah ketika suara klakson motor terdengar dari arah belakang kami. Kami serentak berhenti kemudian menoleh ke belakang. Ternyata Rudi, mahasiswa Sastra Prancis. Dia teman angkatanku dan kami lumayan akrab.

“Hai, Bro,” sapanya sesaat setelah mematikan mesin motornya dan menepuk bahuku. “Hai Puspa, bagaimana kabarmu?”

Puspa tidak menjawab. Dia hanya tersenyum.

“Kalau melihat senyumnya, sepertinya kabarnya sangat baik,” kataku.

“Syukurlah. Aku senang mendengarnya. Oke. Kita ketemu nanti di fakultas.”

“Aku?” tanyaku.

“Ya.”

“Ada apa?”

“Aku ada perlu denganmu, Bro.”

“Penting?”

“Sangat.”

“Baiklah. Aku di tempat biasa, di bawah tangga.”

Lihat selengkapnya