SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #8

Bab 8 Putus

AKU berhenti dan menoleh ke belakang saat mendengar seseorang memanggil namaku. Puspa yang baru turun dari mobil melambaikan tangan ke arahku. Setelah itu, ia buru-buru membayar ongkos angkot lalu menyusulku. Sebelum mobil bergerak kembali, Puspa sudah berdiri di hadapanku.

“Kau baru pulang dari kampus?”

“Seperti yang kau lihat, aku masih mengenakan pakaian yang sama,” jawabku seraya menunjukkan pakaian yang aku kenakan. “Tapi anggap saja aku sedang menunggumu. Bagaimana?”

“Bagaimana apa?”

“Sudah ketemu teman-temanmu?”

 “Sudah.”

“Syukurlah. Ayo, sebentar lagi magrib,” ajakku seraya memutar badan.

“Tunggu.” Puspa menggapai tanganku lalu berjalan ke hadapanku. Dia memperhatikan wajahku dengan saksama lalu mulai mengendus bau mulutku.

“Ada apa?” tanyaku.

“Kau habis minum sesuatu?”

Aku menggeleng. “Apa kau mencium bau alkohol?”

“Tidak. Tapi kenapa matamu merah begitu?”

“Mungkin karena debu,” jawabku seadanya lalu mulai berjalan sambil mengajak Puspa buru-buru.

Kami menyeberangi jembatan besi tanpa pengaman yang menghubungkan area kampus dan kawasan podokan. Di kejauhan mulai terdengar salawat dari masjid pondokan. Pedagang-pedagang makanan yang setiap hari berjualan di sepanjang tepi kanal sudah sibuk mempersiapkan dagangannya. Mereka adalah pedagang-pedagang dari Pulau Jawa yang melihat ribuan perut di kawasan pondokan sebagai ladang uang menggiurkan.

Puspa berhenti di depan Kios Arnita.

“Tunggu sebentar,” katanya setelah menggapai lenganku.

Sebelum aku mengangguk, dia sudah melesat dan masuk ke dalam kios. Tak sampai tiga menit, dia sudah muncul kembali dengan kantong plastik berisi dua botol air mineral di tangan kanannya.

Aku mengambil plastik itu dari tangannya. Meskipun aku tidak mencintainya, setidaknya aku masih bisa menunjukkan kalau aku peduli kepadanya. Selain itu, aku tidak mau digunjing oleh orang-orang yang mengenalku karena membiarkan perempuan membawa barang belanjaannya sementara aku berjalan bersamanya.

Kami tiba di depan Pondok Femme beberapa menit kemudian. Ria menyambut kami di depan jalan masuk dengan senyum menjengkelkannya. Saat Puspa mengambil kantong plastik di tanganku dan masuk ke kamarnya, Ria menghampiriku.

“Munafik,” sindirnya.

“Ini tidak seperti yang kau bayangkan, Ria.”

“Tidak perlu banyak alasan.”

“Aku serius, Kami hanya kebetulan bertemu di depan.”

“Sudahlah. Aku juga tidak akan bertanya kalian dari mana saja sejak pagi. Aku bisa mengerti kok kalau kau malu mengakuinya. Cinta memang ajaib. Dia bisa tumbuh secepat angin,” cerocos Ria sebelum berpaling ke arah Puspa yang baru keluar dari kamarnya dan menghampiri kami. “Aku tidak ingin mengganggu kebahagiaan kalian. Silakan dilanjutkan. Pasangan kekasih baru memang punya berjuta bahan obrolan. Tujuh, delapan, sembilan jam aku pikir tidak akan pernah cukup.”

Aku masih ingin protes, tapi Ria sudah berlari kembali ke kamarnya.   

“Kak Ria kenapa?”

“Entahlah, Mungkin penyakit lamanya kambuh lagi.”

Puspa tersenyum sebelum menyerahkan kantong plastik berwarna putih kepadaku.

Lihat selengkapnya