SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #10

Bab 10 Batal Putus

AKU berjalan gontai menyusuri tepian kanal tanpa peduli dengan siapa pun dan suara apa pun. Termasuk suara bising para penjual makanan yang sedang berberes-beres setelah berjualan sejak sore.

Aku tidak tahu saat ini sudah jam berapa. Aku hanya menduga-duga sekarang ini sudah pukul dua belas karena pagar depan pondokan khusus putri rata-rata sudah tertutup. Hampir semua pondokan cewek di kawasan ini membatasi waktu bertamu hingga pukul sebelas malam. Lewat dari itu, pintu pagar akan ditutup pemilik atau penjaga pondokan. Kalau tidak ada hal penting semisal ada keluarga yang datang atau penghuni baru pulang dari kegiatan kampus, pintu baru akan terbuka keesokan harinya.

Aturan soal jam malam ini diperketat pemilik pondokan setelah jalan Pintu 0 mulai difungsikan tahun lalu. Jalan yang menjadi akses utama menuju kawasan pondokan ini dinamai demikian merujuk pada Pintu 1 dan Pintu 2 kampus. Alasannya tentu saja karena jalanan ini masih dianggap bagian dari kawasan kampus.

Selain itu, jalanan ini memang berujung di kompleks pekuburan di belakang kampus. Kuburan identik dengan angka 0 karena dianggap sebagai akhir kisah perjalanan manusia di muka bumi. Mana alasan yang paling benar di antara keduanya, aku tidak tahu.

Sejak ada Pintu 0, pondokan semakin ramai karena kendaraan sudah masuk ke area pondokan. Sebelum akses jalan itu ada, kendaraan hanya sampai di area kampus. Sementara jalan penghubung antar pondokan, terutama yang berada di bagian belakang semuanya masih berupa jembatan kayu. Itu karena sebagian besar pondokan di seputaran kampus memang dibangun di atas rawa.

Dengan semakin banyaknya orang dan kendaraan yang lalu lalang di kawasan pondokan, aksi pencurian pun marak terjadi. Dua minggu lalu, seorang pencuri yang tertangkap tangan saat masuk ke salah satu kamar di pondokan putri nyaris tewas diamuk warga setelah sebelumnya sempat digunduli. Beruntung polisi datang tepat waktu sehingga nyawa pencuri itu masih bisa diselamatkan.

Setelah beberapa mahasiswa kemalingan, pemilik pondokan mulai lebih ketat memberlakukan jam malam. Paling lambat pukul setengah dua belas, semua pagar sudah tertutup. Digembok. Begitulah ceritanya sehingga aku berani menyimpulkan kalau sekarang sudah pukul dua belas.

Aku sudah separuh jalan dari areal kampus menuju ke pondokanku saat sebuah motor berhenti secara tiba-tiba di hadapanku. Awalnya kupikir hanya orang yang sedang kebetulan melintas dan ingin bertanya. Namun, setelah aku perhatikan baik-baik motor dan jaket pengendaranya, aku langsung tahu kalau itu adalah Rudi.

“Hei, Bro,” tegurku.

Rudi mematikan mesin motornya kemudian membuka helmnya. Setelah itu, ia menurunkan standar tengah motornya.

“Baru pulang?” tanya Rudi.

“Iya. Tadi diajak teman nongkrong di danau Pintu 0,” jawabku. “Oh ya, bagaimana hasilnya?”

“Puspa?” Rudi balik bertanya.

Aku mengangguk. “Sudah ketemu?”

“Sudah,” ujarnya tak bersemangat.

Meski Rudi belum menjelaskan, aku sudah tahu apa yang terjadi. Pupsa pasti sudah menolaknya. Tapi aku tetap menunggu Rudi menjelaskannya.

“Ternyata kalian pacaran,” keluh Rudi. Aku bisa merasakan  nada kecewa dari kalimat itu.

“Ah, siapa yang bilang?”

“Dia.”

“Ah tidak benar itu. Kami sudah putus kemarin dan memang kami hanya pacaran 22 jam.”

“Jadi kau putuskan dia gara-gara aku?”

“Bukan. Bukan karena kau. Kami putus karena tidak cocok. Itu saja. Memangnya dia bilang apa padamu?”

“Dia bilang sedang berpacaran dengan orang lain dan ia menyebut namamu. Cuma, menurutnya kalian sedang lagi ada masalah. Dan ia yakin hubungan kalian akan berlanjut kembali.”

“Serius dia bilang begitu?” Terus terang aku agak terkejut mendengarnya karena kupikir hubungan kami sudah tidak mungkin lagi diperbaiki.

Rudi mengangguk.

“Aku bicara dengannya besok. Tenang saja, Bro. Dia pasti akan jadi kekasihmu.”

“Jangan, jangan. Tidak perlu.”

“Tapi serius, kami sudah putus. Masa sih aku mau menyerahkan pacarku ke orang lain. Wah, laki-laki macam apa aku ini kalau seperti itu.”

“Aku tidak enak hati, Bro. Apalagi, Puspa sepertinya sangat menyukaimu.”

“Ah, mungkin itu alasannya saja.”

“Tidak. Dia serius.”

“Waduh, kalau begitu aku minta maaf.”

“Tidak apa-apa. Tenang saja, aku baik-baik saja kok.”

Lihat selengkapnya