SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #11

Bab 11 Belajar Mencintai

IBRAM tertawa terbahak-bahak sampai air matanya keluar. Sejak tadi dia terus meledekku dan sepertinya tidak ingin berhenti. Andai bukan sahabatku, aku pasti sudah menerjangnya. Pokoknya, apa pun yang bisa membuatnya diam dan berhenti tertawa akan kulakukan.

Kami sedang di lobi Hotel Country Inn. Sesi pertama Seminar Nasional Sejarah yang digelar jurusan kami baru saja selesai. Sekarang waktu istirahat, salat, dan makan siang sebelum masuk ke sesi kedua.

Ibram menjemputku di pondokan tadi pagi. Saat ia datang, aku masih tidur. Semalam saat pulang, aku tidak langsung masuk kamar. Teman-teman pondokanku menangkap banyak belut di rawa dan mereka membuat acara bakar-bakar belut di depan rumah. Aku baru tidur menjelang dini hari setelah acara itu selesai.

Ketika Ibram datang, aku hanya bangun sebentar untuk membuka pintu lalu melanjutkan tidur. Namun, ia memaksaku untuk bangun dan mandi. Aku sudah berusaha menolak. Alasanku, masih mengantuk. Tapi dia tidak menyerah untuk membangunkaku. Alasannya tujuh belas. Aku bilang padanya berangkat duluan saja, aku akan menyusul ke Hotel Country Inn sebelum siang. Namun, dia bersikeras kami harus berangkat bersama. Katanya kami harus menyukseskan acara ini agar ketua juruan mau membantu membiayai keberangkatan pengurus himpunan ke Surabaya. Aku bilang tidak mau ikut ke Surabaya. Tapi Ibram tetap ngotot. Saat dia mulai menarik kakikku dan memaksaku bangkit dari ranjang, aku mengalah.

Sebelum kami berangkat ke hotel, aku meminta Ibram berhenti sebentar di Pondok Femme. Dia kaget. Bertanya untuk apa. Aku bilang, memberitahu Puspa. Dia terkejut. Curiga. Dan saat aku akhirnya memberitahu kalau aku dan Puspa sudah berpacaran kembali, dia tidak pernah lagi berhenti meledekku.

Setiap ada kesempatan, di lampu merah, di tempat parkir hotel, di toilet hotel, di ruang seminar, pokoknya di mana saja, ia pasti menyinggung kisah asmaraku lalu tertawa.

Dan tadi, setelah kami makan siang, dia langsung menarik tanganku, mengajakku mengobrol di lobi.

“Bagaimana ceritanya kalian bisa pacaran lagi?” tanya Ibram. Dia heran bercampur geli. Aku tidak tahu bagian mana dari kisahku dengan Puspa yang membuatnya seperti orang yang sedang digelitik.

“Ceritanya panjang dan aku sedang tidak berminat untuk membahasnya.”

“Akhirnya,” ujar Ibram sebelum menepuk bahuku.

“Jelaskan saja langsung.”

“Akhirnya kau benar-benar mendapat nilai D,” katanya sambil tersenyum.

Nilai D yang dimaksud Ibram adalah penilaian untuk kemampuanku dalam urusan asmara di kampus. Dia memberiku nilai itu karena aku berpacaran dengan mahasiswa dari universitas, fakultas, serta jurusan yang sama, dan hanya beda angkatan. Andai aku dan Puspa juga satu angkatan, maka akan mendapat nilai E alias tidak lulus untuk ‘mata kuliah’ asmara.

Lihat selengkapnya