SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #14

Bab 14 Ayo Menikah 2

PUSPA menarik tanganku, memintaku buru-buru. Katanya, ibunya sudah menungguku di kamarnya sejak beberapa menit lalu.

Ibunya, Bu Zaira, seorang pegawai kesehatan. Ia sedang ada kegiatan dinas di Makassar dan tiba-tiba ingin bertemu denganku. Aku tidak tahu apa alasannya. Puspa juga tidak mengatakan apa pun. Ia hanya bilang kalau ibunya datang dan memanggilku.

Awalnya aku sempat berusaha menolak karena merasa belum siap bertemu orang tuanya. Selain itu, aku khawatir ibunya akan terkejut melihat penampilanku. Tapi Puspa terus memaksaku. Akhirnya, aku mengalah, mengikutinya, dan pasrah.

Sebelum kami tiba di Pondok Femme, aku meminta Puspa berhenti sejenak. Aku ingin melepas anting dan gelang prusikku. Meski saat ini aku tidak terlalu yakin akan berjodoh dengan Puspa, aku harus tetap menunjukkan penampilan yang baik di hadapan ibunya. Paling tidak untuk menghormatinya sebagai orang tua. Namun, Puspa bilang tidak usah dan kembali menarik tanganku.

Bu Zaira baru saja selesai salat zuhur saat kami tiba di depan kamar Puspa. Saat ia menoleh kepadaku setelah merapikan mukena dan sajadahnya, dadaku seketika bergemuruh dengan kencang.

Syukurlah, Bu Zaira hanya menatapku beberapa detik. Aku menghela napas dalam-dalam.

“Ayo masuk sini,” kata Bu Zaira, memanggilku masuk ke dalam kamar. Saat aku melangkah masuk, ia melanjutkan, “Jadi, kuliah kalian bagaimana?”

“Baik, Tante. Sekarang sedang ujian akhir semester,” jawabku sebelum duduk di hadapannya.

Bu Zaira menatapku beberapa saat. Aku langsung kikuk. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan setelah melihat anting dan rambutku yang panjang. Ibuku sejak dulu selalu memintaku memotong rambut dan melepas antingku. Katanya, aku seperti perempuan. Tapi itu bukan alasan sebenarnya. Alasan utama ibuku memintaku mengubah penampilan karena ia selalu terkenang kakak perempuanku yang meninggal sebelum aku lahir.

“Syukurlah kalau begitu. Semoga kuliah kalian lancar dan bisa sarjana secepatnya,” katanya.

Aku ingin bertanya kapan Bu Zaira datang untuk berbasa-basi, tapi bibirku seperti kaku untuk mengatakan sesuatu. Jadi aku memutuskan untuk diam dan menunggu.

“Pacaran itu ada batasannya,” ujar Bu Zaira pelan lalu meraih tasnya. Ia mengeluarkan tas peralatan makeup-nya lalu mengambil bedak dan mengoleskannya ke wajahnya. Setelah bercermin sejenak dan meratakan bedaknya, ia memasukkan kembali tas makeup-nya lalu menoleh ke arahku.        

Aku buru-buru mengangguk.

“Ibu tidak melarang kalian pacaran. Tapi seperti yang Ibu bilang tadi, pacaran itu ada batasannya. Kalau kalian berdua ingin melampaui batasan itu, maka lebih baik kalian menikah saja,” tegasnya.

Bu Zaira sama seperti ibuku. Ibuku juga selalu mengingatkanku tentang masalah ini. Apalagi, setelah bertemu Puspa dua bulan yang lalu. Kekhawatiran utama ibuku, aku tidak bisa lagi berkonsentrasi kuliah, drop-out, dan akhirnya gagal menjadi sarjana.

“Kami sebagai orang tua tentu tidak bisa mengawasi kalian 24 jam. Makanya, kalian yang harus pintar-pintar menjaga diri,” ujarnya. “Kalian paham bukan?”

Aku mengangguk. Aku bisa memahami kekhawatiran Bu Zaira.

Hampir sepanjang siang Bu Zaira menasihati kami. Ia baru berhenti setelah Puspa mengingatkannya bahwa ia harus kembali ke tempat kegiatan dinasnya.

Aku dan Puspa ke wartel untuk menelepon taksi. Beberapa menit setelah kami kembali, taksi sudah datang dan berhenti di depan Pondok Femme.

“Aku akan menemani ibuku,” bisik Puspa.

“Ingat pesan Ibu baik-baik,” kata Bu Zaira kepadaku sebelum naik ke taksi bersama Puspa.

 

                                                         ***

         

Puspa kembali ke pondokan setelah magrib dan langsung menemuiku.

Lihat selengkapnya