“JADI, kapan kita berangkat?” tanyaku kepada Ibram ketika dia muncul di pintu kantor jurusan.
“Wah, kenapa sekarang jadi kau sepertinya yang sangat bersemangat ingin berangkat ke Surabaya?” Ibram balik bertanya dengan tatapan menyelidik. Cecep yang berdiri di sampingnya tersenyum sebelum berjalan menjauh dari kami untuk menelepon. “Sejak punya ponsel baru, sahabat kita yang satu itu sepertinya sudah berubah menjadi orang super-sibuk.”
“Tidak usah mencampuri urusan Cecep dengan kekasihnya. Biarkan dia bahagia dengan hidupnya,” kataku. “Jawab pertanyaanku, kapan kita berangkat?”
“Kau kenapa?” Ibram kembali bertanya.
“Aku hanya ingin meninggalkan kota ini untuk beberapa hari. Aku ingin mencari suasana baru sambil menenangkan pikiran.”
Ibram tertawa tertahan. Ia menatapku sejenak lalu bertanya, “Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa.”
“Yakin?”
“Sangat.”
“Kita berangkat pekan depan. Tadi aku sudah menelepon teman-teman di Tadulako dan UNM. Kita akan berangkat bersama mereka.”
“Kapal bagaimana? Maksudku apakah kau sudah memeriksa jadwal kapal?”
Ibram mengangguk. “Semua sudah beres. Kita tinggal berangkat saja,” katanya lalu menarik tanganku menuju ke tangga.
Cecep masih asyik menelepon sambil duduk di tangga. Melihat kami sudah turun, ia buru-buru mengakhiri panggilan teleponnya lalu menyusul kami.
“Jadi apa alasannya bersemangat ingin segera berangkat?” tanya Cecep kepada Ibram.