SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #16

Bab 16 Cinta di Pelabuhan

TAKSI yang kami tumpangi berhenti di depan gerbang Pelabuhan Soekarno Hatta. Ibram dan Cecep sudah menunggu di samping pintu masuk. Melihat Puspa turun dari taksi bersamaku, keduanya langsung tersenyum, saling berbisik, lalu tertawa terbahak-bahak.

“Buang kebiasaan menggunjing kalian. Itu tidak baik,” kataku setelah menghampiri mereka. Puspa mengekor di belakangku seraya memegangi tali pengikat tasku seolah-olah takut kami akan terpisah di pelabuhan.

“Coba jawab dengan jujur, jawaban yang sebagian besar orang akan setuju. Apa yang ada di pikiranmu melihat mereka berdua?” tanya Cecep kepada Ibram.

Ibram menatap kami lalu tersenyum.

“Pengantin baru. Sang istri mengantar suaminya yang akan berdinas di luar provinsi selama dua tahun,” ujar Ibram.

“Benar,” imbuh Cecep lalu tertawa terbahak-bahak.

Aku dan Puspa mengabaikan mereka. Kami langsung masuk ke pelabuhan. Mereka mengikuti kami sambil terus menggoda Puspa.

Suasana pelabuhan sangat ramai malam ini. Ada dua kapal yang baru saja bersandar. Ribuan penumpang yang baru turun maupun yang akan naik berbaur bersama para porter di pelataran terminal di bagian belakang gedung kantor pelabuhan.

Karena waktu keberangkatan kapal yang akan kami tumpangi masih cukup lama, kami memilih menunggu di lantai dua terminal pelabuhan. Tidak berselang lama setelah kami sampai di lantai dua, mahasiswa dari universitas lainnya di Sulawesi yang akan berangkat bersama kami muncul. Ibram yang selama ini berkomunikasi dengan mereka langsung memperkenalkan kami satu per satu.

Hampir dua jam kami menunggu sebelum akhirnya pengumuman keberangkatan kapal kami terdengar. Kami langsung turun kembali ke bawah, bergabung dengan ribuan penumpang dan pengantar yang tak kalah banyak jumlahnya.

Beberapa penumpang terlihat berpelukan dengan keluarganya sambil menangis. Seorang ibu yang berdiri tiga meter di depan kami mencium kepala putranya seraya mengingatkannya untuk menjaga salat selama di perantauan. Setelah itu, sang anak mencium tangan ibunya lalu menyampirkan tasnya di pundak dan berjalan ke arah tangga kapal.

Di sudut lain, tepat di depan pintu keluar ruang tunggu, seorang pria membungkuk di hadapan perut istrinya yang membuncit. Berbicara dengan buah hatinya yang sebentar lagi akan lahir ke bumi. Berjanji akan mencari uang sebanyak-banyaknya dan segera pulang untuk berkumpul bersama kembali. Pemandangan yang sungguh-sungguh menyentuh. Pria itu kemudian berdiri, mencium kening istrinya, lalu berjalan mundur ke arah tangga kapal seraya terus melambaikan tangan. Kami memperhatikan mereka dan turut larut dalam kesedihan. Entah apa yang akan terjadi pada mereka berdua kalau tiba-tiba Tommy J. Pisa muncul dan menyanyikan lagu “Di Batas Kota”.

“Pulanglah. Kami akan segera naik ke kapal,” kataku pada Puspa setelah pria tadi menghilang di ujung tangga

Puspa bergeming. Dia menatapku tanpa berkedip.

“Peluk aku,” ujarnya.

Lihat selengkapnya