SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #17

Bab 17 Mabuk Cinta

SETELAH 30 jam mengarungi lautan, kapal bersandar di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya menjelang subuh. Suara salawat tahrim terdengar lamat-lamat di antara riuh penumpang yang berebut hendak turun.

Kami tidak terburu-buru, jadi kami memilih tetap bersantai di dek atas kapal dan membiarkan penumpang lain turun terlebih dulu. Setelah sebagian besar penumpang kapal turun, barulah kami mengambil tas masing-masing dan bergegas menuju ke tangga.

Sama seperti ketika bersandar di Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar, ratusan orang memenuhi terminal Pelabuhan Tanjung Perak. Seumur-umur, baru kali ini aku melihat orang berkumpul sebanyak ini menjelang subuh.

Belasan sopir taksi menyerbu kami di pelataran terminal. Bertanya tentang tujuan kami dan lain sebagainya. Saat melihat kami menggeleng, mereka langsung menghampiri penumpang lain dan kembali menawarkan taksinya.

Karena panitia sejak awal sudah berjanji menjemput semua peserta yang datang dengan kapal laut, kami memutuskan tetap tinggal di dalam pelabuhan hingga pagi. Sambil menunggu matahari muncul dan suasana terang, kami mencari tempat untuk minum kopi dan sarapan. Sebagai salah satu pelabuhan yang paling sibuk di Indonesia, tidak sulit untuk menemukan warung kopi dan makanan di Pelabuhan Tanjung Perak meski suasana masih gelap.

Hampir tiga jam kami menghabiskan waktu di pelabuhan sebelum akhirnya panitia yang sudah ditelepon Ibram muncul dengan bus untuk menjemput dan mengantar kami ke lokasi munas.  

“Bagaimana perjalanannya, Teman-Teman?” tanya Nur, salah seorang panitia perempuan yang menjemput kami di pelabuhan sekaligus mengatur akomodasi seluruh peserta munas.

“Alhamdulillah. Lancar. Tidak ada masalah. Ombak juga cukup bersahabat selama perjalanan.,” jawab Ibram.

“Jadi tidak ada yang mabuk laut?”

“Kalau mabuk laut tidak. Tapi kalau mabuk yang lain ada satu orang.”

“Siapa?” tanya Nur dengan mimik penasaran.

“Ini, kawan kita Mario Matutu,” jawab Ibram sembari menoleh kepadaku.

“Oh ya,” seru Nur, “mabuk apa?”

“Mabuk cinta,” jawab Ibram.

Semua orang tergelak. Termasuk aku. Itu basa-basi perkenalan dan kami langsung akrab dengan Nur serta panitia lain yang menjemput kami.

Sepanjang pagi hingga sore sama sekali belum ada kegiatan di arena munas. Kami hanya menghabiskan waktu untuk berkenalan dan mengobrol dengan peserta munas lainnya yang datang dari seluruh pulau di Indonesia. Malamnya, panitia menggelar acara penyambutan sederhana lalu mempersilakan kami beristirahat.

Aku, Ibram, dan Nur sedang mengobrol di depan kamar saat Cecep muncul dan menyodorkan telepon genggamnya kepadaku.

“Dari siapa?”

“Puspa,” jawabnya.

Lihat selengkapnya