MUNAS berlangsung selama dua hari. Semua berjalan lancar. Memang ada sedikit keributan kecil. Pukul meja. Saling hardik. Namun, itu bukan masalah. Sejak dulu, hal-hal seperti itu sudah menjadi pemandangan lazim di arena munas. Bagi yang aktif bergoragnisasi, itu hanya dinamika. Cuma bumbu yang membuat berorganisasi menjadi lebih berkesan dan menyenangkan.
Seperti kata Puspa saat kami baru tiba di Surabaya, ia terus menelepon. Bukan setiap malam, tapi setiap ada kesempatan. Bertanya apa yang aku lakukan dan kegiatan kami. Aku terpaksa keluar masuk ruang sidang. Untungnya, tidak ada yang peduli denganku. Semua peserta munas sibuk dengan AD ART di tangan mereka dan ide-ide tentang program kerja setahun ke depan.
Setelah munas ditutup dengan foto bersama dan foto-foto lainnya, keesokan paginya rangkaian kegiatan dilanjutkan dengan Seminar Nasional. Sejumlah sejarawan kawakan tampil sebagai pemateri. Dan seperti dua hari sebelumnya, Puspa terus menelepon. Cecep sampai kesal dan mengusirku keluar ruangan sambil menyerahkan ponselnya untuk aku pegang. Katanya, ia capek harus terus menerus menerima telepon Puspa.
Seminar berakhir menjelang sore dan sebagian peserta langsung kembali ke daerah masing-masing. Karena kapal yang akan kami tumpangi baru sandar pukul delapan malam, Nur mengajak kami jalan-jalan ke Tunjungan Plaza. Dan saat itulah aku mendapatkan dua kabar mengejutkan sekaligus.
Pertama, kami tertipu. Uang tiket kami dibawa kabur calo. Kedua, Puspa menelepon dan memberitahu aku kalau ibuku sudah menyetujui pernikahan kami.
Ternyata, selama aku di Surabaya, Bu Zaira bertemu ibuku. Aku tidak tahu bagaimana ceritanya sehingga mereka kemudian bersepakat untuk menikahkan kami.
“Pokoknya kita akan menikah,” kata Puspa saat aku bertanya padanya.
“Bagaimana bisa?”
“Aku tidak tahu.”
“Apa yang sebenarnya kau lakukan?” tanyaku. Aku benar-benar tidak percaya ibuku bisa segampang itu menyetujui pernikahan kami. Ibuku bahkan tidak pernah bertanya sekali pun kepadaku apalagi sampai meminta pendapatku soal pernikahan itu.
“Tidak ada. Aku tidak melakukan apa-apa. Kalau tidak percaya, tanya sendiri pada ibumu kalau kau pulang nanti,” jawab Puspa. “Ngomong-ngomong kapal kalian berangkat jam berapa?”
“Itulah yang jadi masalah,” keluhku.
“Ada apa?”
“Kami ditipu calo. Uang tiket kami dibawa kabur.”
“Lalu, bagaimana cara kalian pulang?” Puspa terdengar panik. Ia tahu dana untuk perjalanan kami ke Surabaya sangat terbatas. “Apa kau perlu uang?”
“Kalau kau bertanya kami butuh uang atau tidak sudah pasti kami butuh karena kami ingin pulang. Masalahnya, kami empat belas orang. Sudahlah, tidak usah kau pikirkan. Tunggu saja aku di pondokan. Pokoknya, demi kau, demi calon istriku, aku akan pulang malam ini. Bagaimanapun caranya,” kataku.
“Memang tidak salah aku memperjuangkanmu menjadi suamiku,” celutuk Puspa.
“Maksudmu?”
Puspa sudah memutus sambungan telepon. Aku hanya sempat mendengar suara seorang gadis tertawa. Aku menduga itu salah satu adiknya.