SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #19

Bab 19 Tradisi Cinta

BAGIAN KEDUA

AKU dibangunkan hujan pagi Desember dan suara gemuruh guntur yang memekakkan telinga. Setelah berkhayal sejenak, aku langsung bangkit menuju ke kamar mandi kemudian bergegas ke dapur.

Pagi-pagi begini, Puspa pasti sudah memasak dan aku harus mengecup keningnya. Itu sudah menjadi ritual wajib kami setiap pagi selama bertahun-tahun. Dan Puspa—yang kadang lebih manja daripada putri kami, Aura—tidak pernah mau mengkompromikan tradisi cinta kami tersebut.

Dua tahun lalu, aku pernah lupa mencium keningnya. Saat itu, aku mendapat tugas liputan pagi di bandara. Karena pulang larut malam, aku telat bangun sehingga berangkat ke bandara dengan terburu-buru. Tahu apa yang terjadi? Puspa mengambek.

Ia membuat dirinya terlihat sangat jelek sepanjang hari. Setiap kali aku mendekatinya, ia langsung menutup rapat-rapat mulutnya, lalu menggembungkan pipinya sambil melirik ke bawah. Coba tirukan gaya itu dan bayangkan sendiri bagaimana buruknya rupa Puspa saat itu. Sulit mencari ekspresi wajah yang lebih buruk dari itu. Yang bisa menyamai mungkin hanya ekspresi orang yang sedang sembelit. Tapi siapa juga yang mau membayangkan wajah orang yang sedang sembelit apalagi yang sembelit saat tanggal tua.

“Wah, suami kesayanganku sudah bangun rupanya.”

“Jam berapa sekarang?” tanyaku setelah mencium kening Puspa. Itu ciuman pagi di kening yang ke-2.300 sekian.

“Jam sepuluh lewat.”

Aku begadang menonton pertandingan Liga Champions antara Real Madrid dan Lazio hingga menjelang pagi. Madrid tim favoritku menang 3-1 dan aku tidur nyenyak. Andai tidak ada jumpa pers di sekretariat PSM Makassar pukul dua siang ini, aku mungkin baru akan bangun setelah zuhur.

Dua minggu setelah wisuda, aku mendaftar sebagai wartawan di Harian Makassar. Sebenarnya, itu bukan murni keinginanku. Saat itu, aku hanya bermaksud menemani sepupuku, Nasrullah yang juga baru menyelesaikan kuliahnya di Uniersitas Negeri Makassar.

Seperti halnya ketika Tuhan memilihku sebagai teman sepelaminan Puspa, menjadi wartawan adalah profesi yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Jangankan membayangkan, pekerjaan ini bahkan sama sekali tidak pernah muncul dalam daftar cita-citaku sejak kecil.

Selain itu, aku memang tidak punya kemampuan menulis. Selama hampir enam tahun di kampus, aku tidak pernah berpikir untuk masuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) kepenulisan apa pun. Tapi itulah takdir. Aku lolos tes dan diterima sebagai wartawan bahkan ketika aku sebenarnya sudah telat datang ke Harian Makassar pada hari terakhir pendaftaran.

Hari itu, Nasrullah mendadak membatalkan rencananya mendaftar. Karena niat awalku memang hanya untuk menemaninya, aku juga memutuskan tidak memasukkan lamaran. Tapi teman-teman pondokanku yang sudah membantuku membuat surat lamaran memaksaku untuk pergi. Pada akhirnya, surat lamaranku hanya diterima cleaning service yang kebetulan akan membersihkan ruangan kepala bagian personalia perusahaan yang sudah pulang kantor.

Namun, setelah bekerja beberapa bulan, aku akhirnya mulai jatuh cinta pada profesi ini dan tidak pernah lagi berpikir untuk mendaftar PNS seperti keinginan ibuku. Bahkan, karena hanya menggunakan transkrip nilai saat memasukkan lamaran di Harian Makassar, aku sama sekali belum pernah melihat wujud ijazah sarjanaku. Ijazah itu tetap berada di kampus selama bertahun-tahun lantaran aku merasa tidak lagi membutuhkannya.

“Aura mana?” tanyaku setelah mengambil segelas air putih dan meminumnya hingga habis.

“Dia sedang main di depan rumah.”

“Main hujan-hujan?” Aku agak kaget karena hujan sangat deras  dan beberapa kali suara gemuruh Guntur yang memekakkan telinga masih terdengar.

Lihat selengkapnya