SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #22

Bab 22 Diusir dari Kantor

GARA-GARA kambing, aku diusir malam-malam dari kantor.

Tadi siang, aku dan Aiman, fotografer Harian Makassar menghadiri undangan akikah anak salah seorang teman kantor. Saat sedang mengambil makanan, Aiman menegurku karena aku tidak mengambil daging kambing.

“Kau tidak suka makan daging kambing?” tanya Aiman sambil melirik piringku sesaat setelah kami duduk kembali di kursi setelah mengambil makanan di meja prasmanan.

“Suka. Cuma tadi aku sudah makan bakso di kantin.”

“Padahal daging kambing bagus untuk meningkatkan gairah seksual,” celoteh Aiman lalu mulai melahap makanannya.

“Istriku baru melahirkan tiga hari lalu. Jadi, tidak ada gunanya.”

Aiman langsung menghentikan makannya.

“Kau serius?” Aiman menatapku seperti sedang melihat sosok manusia aneh yang belum pernah ia temui sebelumnya.

Aku mengangguk.

“Terus kenapa kau tidak pulang?” tanya Aiman. Saat melihat aku mengangkat pundakku, ia melanjutkan, “kau ayah dan suami yang tega, Bro. Sudah tidak mendampingi istri melahirkan, anak juga tidak ditengok.”

Sebenarnya aku tidak ingin memperpanjang pembicaraan soal diriku. Namun, melihat Aiman menggeleng-gelengkan kepala seperti orang yang benar-benar tidak paham dengan keputusanku, aku mencoba memberi penjelasan.

“Ini bukan soal tega atau tidak. Masalahnya, aku sudah minta izin tiga hari sebelumnya. Masa harus pulang kampung lagi lalu minta izin lagi saat acara akikah. Sebagai karyawan yang baik, kita harus punya malu juga, Bro. Makanya, aku sekalian menunggu acara akikah baru pulang. Lagi pula, anakku juga sudah lahir jadi tidak ada masalah,” kataku membela diri.

“Parah,” ringis Aiman. Ia buru-buru menghabiskan makanan di piringnya.

Malam harinya, ketika aku sedang sibuk mengetik, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Makassar, Binar Bestari Mulia mendatangi mejaku.

“Bagaimana Mario, berita PSM-nya sudah beres semua?” tanya Pak Binar dengan suara lembut, ramah, dan seperti biasa sambil tersenyum.

“Sisa satu berita lagi, Pak,” jawabku agak kikuk sembari membalas senyum Pak Binar yang berdiri di depan tempatku sedang mengetik sembari menyandarkan tangannya di dinding pembatas meja.

Pak Binar mangguk-mangguk sejenak kemudian kembali ke ruangannya. Aku menduga Pak Binar akan memberiku tugas untuk liputan malam karena hari ini aku memang sedang piket.

Dua puluh menit kemudian, Pak Binar muncul lagi. Saat itu, aku sudah selesai mengetik semua hasil liputanku dan sudah memasukkannya ke server editor.

“Sudah selesai?” tanyanya kembali.

“Sudah, Pak.”

“Bagus. Sudah tidak ada lagi penugasan?”

“Tidak ada, Pak.”

“Kalau begitu, sekarang ambil tasmu dan pulang,” tegasnya.

“Pulang ke mana, Pak?” Aku balik bertanya karena tidak mengerti maksud Pak Binar.

Lihat selengkapnya