“TADI sore Ria menelepon,” kata Puspa sambil membereskan meja makan. “Dia titip salam untukmu.”
Sekarang sudah hampir jam delapan malam.
Hari ini aku libur dan hanya keluar rumah untuk bermain futsal. Setelah magrib aku langsung pulang untuk makan malam bersama Puspa dan putri kami, Syifa.
Sebagai jurnalis surat kabar harian, momen berkumpul bersama keluarga apalagi makan malam bersama anak istri menjadi hal istimewa. Pekerjaanku seperti tidak ada habisnya. Belum lagi sekarang jalanan di Makassar semakin sering macet sehingga terkadang butuh waktu lebih lama untuk bisa sampai ke rumah.
“Apa saja yang kalian bicarakan?” tanyaku setengah berteriak karena Puspa langsung mengangkat perlengkapan bekas makan kami ke dapur.
“Dia tanya kabar kita, anak-anak, pekerjaanmu, dan kehidupan keluarga kita,” jawab Puspa saat muncul kembali dari dapur dan duduk di sampingku di ruang tamu.
“Jadi, kau jawab apa?”
“Semuanya baik dan aku sangat bahagia.”
“Ehem.”
“Kok ehem?”
Puspa memasang wajah cemberut tak puas dengan reaksiku.
“Yakin kau sudah bahagia?”
“Ya, iyalah, Sayang. Kau mencintaiku, kita sudah punya dua anak dan kita juga sekarang sudah punya rumah sendiri. Bagi seorang istri, apalagi yang lebih membahagiakan dari semua itu?”
“Begitu, ya?” Aku pura-pura tidak percaya.
Puspa menggertakkan giginya. Dan saat aku kembali menggodanya, dia langsung mengangkat kedua tangannya dan mulai menggelitikku.
“Ampun, ampun, ampun. Berhenti, Sayang. Aku percaya, aku percaya,” kataku sembari meraih tubuh Puspa dan memeluknya. “Aku mencintaimu, Sayang. Aku akan merasa bersalah kalau ternyata kau tidak bahagia hidup bersamaku.”
“Kenapa?” Puspa mendongak menatap mataku.
“Karena kau sudah berjuang dan memilihku sebagai suamimu,” jawabku.
“Aku sangat mencintaimu, Mario-ku.”
Aku memcium kepala Puspa.
“Kau suka rumah ini?” tanyaku beberapa saat kemudian setelah melepaskan pelukanku.
“Tentu saja aku menyukainya. Ini rumah cantik yang menyenangkan,” jawab Puspa sambil mencium punggung tanganku dengan lembut. “Terima kasih, ya?”
Kami membeli rumah ini setahun yang lalu. Rumah mungil. Tipe 28 dengan hanya satu kamar tidur. Kalau kami buang angin di ruang tamu, bunyinya bisa kedengaran hingga ke belakang rumah. Tapi kelebihan tanahnya lumayan luas. Makanya, beberapa bulan yang lalu kami membangun dapur sekaligus ruang makan di bagian belakang..
Tentu saja itu rumah kredit. Semua orang tahu bagaimana harga rumah di Makassar. Selangit. Tanpa bantuan bank atau warisan yang cukup, jangan pernah bermimpi bisa membeli rumah di kota ini. Kamu hanya akan menghabiskan usiamu di rumah kontrakan sempit dengan sewa mencekik.
“Suatu hari nanti kita akan beli rumah yang lebih besar dan lebih bagus dari ini, Sayang.”
“Ini sudah cukup. Apalagi, kita kan hanya bertiga dan Syifa masih kecil.”
Aura tinggal bersama Mama dan Bapak di kampung. Mereka ngotot, cucu sulungnya harus tinggal bersama mereka. Alasannya, mereka sering kesepian. Aku sempat protes, tapi Puspa bilang biarkan saja. Aku mengalah. Aura sekarang sudah bersekolah dan saat kami mengunjunginya minggu lalu, neneknya bilang akan membiayai pendidikannya hingga kuliah. Aku tahu maksud mereka. Tapi sebelum aku protes, Puspa bilang biarkan saja.
“Tidak. Ini belum cukup bagi keluarga kita. Aku ingin kita punya tiga atau bahkan empat rumah.”