SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #24

Bab 24 Pengorbanan Kecil

KUMANDANG azan dari masjid kompleks membangunkanku. Di tengah kantuk yang masih mendera, aku memaksakan diri untuk turun dari tempat tidur lalu mengambil air wudhu dan salat subuh.

Selesai salat, aku membangunkan Puspa kemudian keluar untuk jogging keliling kompleks. Aku kembali setengah jam kemudian dan langsung bersantai di balai-balai bambu di depan rumah, menikmati teh, sembari membaca novel yang kubeli di toko buku pekan lalu.

 Puspa memperhatikan aku dari balik tirai jendela ruang tamu sembari tersenyum. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan sehingga tersenyum.

Aku melanjutkan membaca. Saat aku menoleh kembali ke jendela, Puspa sudah tidak ada di sana. Kupikir dia akan keluar dan duduk bersamaku di balai-balai. Namun, hingga dua menit berlalu, ia tak juga muncul di pintu.

Karena penasaran, aku masuk ke rumah untuk mengecek apa yang sedang dilakukan Puspa. Wah, ternyata dia sedang memeriksa kantong celana serta jaketku.

“Cari apa, Sayang?” tanyaku.

“Rokokmu habis, ya?”

“Tidak. Memangnya kenapa?” Aku balik bertanya.

“Sejak tadi aku perhatikan kau tidak merokok.”

“Oh, itu.”

Memang sudah menjadi kebiasaanku, setiap pagi aku bersantai di depan rumah sambil merokok. Biasanya aku menghabiskan dua atau tiga batang rokok sebelum mandi. Setelah sarapan aku kembali merokok lalu berganti pakaian dan baru kemudian berangkat ke kantor.

“Memangnya salah kalau aku tidak merokok?” tanyaku

“Ya, heran saja. Biasanya kan kalau pagi seperti ini asap sudah mengepung rumah kita.”

Aku tertawa sambil menatap mata Puspa.

“Kenapa menatapku seperti itu? Aku terlalu cerewet, ya?”

“Bukan.”

“Lalu, ada apa?”

“Matamu ternyata sangat indah.”

“Dasar tukang gombal.”

“Serius, aku tidak bohong.”

“Jangan alihkan pembicaraan. Jawab pertanyaanku, kenapa kau tidak merokok?”

Aku menghampiri Puspa dan meraih tangannya. Puspa mendongak menatapku. Menunggu aku mengatakan sesuatu dengan ekspresi penasaran. Aku tersenyum.

“Hari ini aku sudah berhenti merokok, Cinta.”

Mata Puspa membelalak saat mulutnya terbuka membentuk huruf O yang besar. Dia pasti tidak menyangka aku akan mengatakan itu karena saat ini sepertinya masih terlalu pagi untuk mendengar kabar baik.

“Serius?”

Mata Puspa berbinar. Ia memandangku dengan penuh cinta. Dan saat aku mengangguk Puspa langsung menghambur ke pelukanku. Memelukku dengan sangat erat, seperti seorang bocah menyambut ayahnya yang baru pulang dari kantor dengan membawa mainan yang sudah lama dia idam-idamkan.

Puspa tahu bagaimana sulitnya seorang berhenti merokok apalagi yang berstatus perokok berat seperti aku.

“Terima kasih, Sayang. Aku sudah menunggu kau mengatakan ini sejak lima tahun lalu. Kuharap kau tidak akan pernah merokok lagi,” ujar Puspa setelah melepaskan pelukannya.

“Amin, amin, amin. Semua sudah berakhir pagi ini. Dua belas tahun sudah cukup. Hari ini, besok, lusa dan seterusnya tidak akan ada lagi asap rokok di sekitar rumah kita,” kataku lalu mengajak Puspa kembali ke ruang tamu.

“Eh, tapi ngomong-ngomong kenapa kau tiba-tiba memutuskan untuk berhenti merokok?” tanya Puspa sebelum kami duduk di kursi. Sepertinya dia masih penasaran dengan keputusanku yang menurutnya mungkin sangat tiba-tiba.

“Selama ini aku sudah sangat bodoh. Setiap kali akan merokok, aku harus keluar rumah, menjauh dari anak-anak kita. Terkadang saat lagi asyik merokok dan anak-anak mendekat, aku malah menyuruh mereka pergi. Beberapa bulan terakhir aku memikirkan itu. Aku pikir ada yang salah dengan otakku kalau mengabaikan darah dagingku sendiri demi rokok,” jelasku.

“Jadi, kau berhenti merokok karena anak-anak, bukan karena aku yang sering mengomel?”

“Aku berhenti karena kalian.”

“Oh.” Ekspresi Puspa menunjukkan dia kurang percayan dengan jawabanku. “Tapi aku kok ragu, ya?”

“Ragu kenapa?” 

“Pasti ada alasan lain.”

“Alasan lain apa? Ini benar-benar karena kalian.”

“Ah, aku tidak percaya.”

“Coba katakan, apa ada alasan lain yang lebih masuk akal bagi suami dan seorang ayah untuk berhenti merokok selain karena keluarganya?”

“Tunggu dulu!”

“Ada apa?”

“Jangan-jangan, kau berhenti merokok karena sakit.” Wajah Puspa mendadak berubah. Ia terlihat khawatir. “Aku harus memeriksa tasmu.”

“Buat apa?”

Lihat selengkapnya