SORE yang sangat sibuk.
Sekarang pukul empat dan semua orang yang ada di ruangan itu hanya menatap layar komputernya. Ruangan itu kini tak ubahnya sebuah kota yang penduduknya tidak saling mengenal satu sama lain. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing dan tampak terburu-buru.
Semua berawal dari keluhan pelanggan. Merasa koran sering telat datang, mereka mengajukan komplain ke bagian sirkulasi. Meski loper bersikeras bahwa mereka sudah mengantarkan koran tepat waktu, pada akhirnya terbukti kalau pelanggan memang adalah raja. Rapat perusahaan kemarin siang memutuskan koran naik cetak lebih awal dan harus diantarkan lebih cepat dari jadwal yang sudah bertahun-tahun berjalan.
Dan hari ini, penyesuaian perubahan jadwal cetak dimulai dari redaksi. Semua halaman harus selesai lebih awal. Makanya tidak mengherankan kalau saat ini mata semua orang di ruang redaksi benar-benar hanya tertuju pada layar komputer mereka. Tidak satu pun yang bersantai, bergosip, menggunjingkan politisi yang selalu merasa terzalimi atau artis yang rumah tangganya sedang retak dan kini jadi buruan wartawan infotainment, apalagi sekadar membuka Facebook untuk menanggapi komentar-komentar tak penting di status mereka.
Suasana sunyi, kaku dan membosankan itu terus berlanjut hingga Reza, koordinator pracetak muncul dari balik pintu redaksi dan berteriak, “Ayo-ayo, semuanya semangat. Satu setengah jam lagi. Kita harus buktikan bahwa kita bisa selesai lebih cepat. Kita adalah generasi hebat, ganteng, cantik, dan banyak cicilan.”
Namun, teriakan Reza hanya sekadar memecah keheningan redaksi. Tidak ada yang menanggapi. Suara Reza seperti tertahan di liang telinga orang-orang yang ada di ruangan itu. Kalau pun ada yang benar-benar sampai ke gendang telinga mereka dan diteruskan ke otak besar sehingga bisa didengar semua kru redaksi, kemungkinan hanya bagian “banyak cicilan” saja. Tidak perlu dijelaskan kenapa.
Lalu, hening lagi.
Yang terdengar kemudian kembali hanya suara tv yang berjejer di dinding ruangan itu. Setelah tv swasta mulai berkuasa di negeri ini, semakin banyak tv yang harus dipasang di redaksi. Berbagai peristiwa yang terjadi dalam satu hari salah satunya di pantau lewat tv. Karena itu, semua channel tv, mulai dari CNN hingga TVRI yang tak ingin “dilindas” tv swasta harus bisa disaksikan dalam satu waktu yang bersamaan. Itu membuat ruang redaksi tak ubahnya toko elektronik di pusat perbelanjaan.
Satu jam berikutnya, Reza kembali berteriak dari mejanya.
“Sudah sembilan print putih. Tiga lagi mana? Ayo cepat, cepat! Kita adalah generasi hebat. Kita pasti bisa menyelesaikan sesi tiga ini sebelum jam enam.”
Reza tidak lagi menyelipkan “generasi banyak cicilan”. Mungkin ia sudah menyadari kalau bagian itu cukup mengganggu para kru redaksi dan bisa memicu salah ketik massal. Sekali lagi, tidak perlu dijelaskan kenapa.
Tak seperti yang pertama, kali ini beberapa kru redaksi sudah mulai tersenyum mendengar teriakan Reza. Termasuk aku yang duduk di sofa di sudut ruang redaksi. Tapi alasanku tersenyum bukan karena pekerjaanku telah selesai. Hari ini aku hanya mewawancarai satu narasumber dan tidak perlu mengerutkan kening di depan layar komputer untuk menyulapnya menjadi berita.
Senyumku adalah senyum bahagia. Aku baru saja menerima pesan dari Puspa, perempuan belahan jiwaku yang untuknya aku rela menyeberangi sungai berbuaya lapar yang belum makan apa pun selama tiga setengah minggu.
“Kapan kau ke sini, Sayang. Aku rindu. Aku mencintaimu, Mario-ku. Pejamkan matamu. Aku ingin menciummu 100 kali. Mmmmmuah mua mua mu...”
Siapa yang tidak akan tersenyum bahagia kalau dicium istri 100 kali?
Aku sementara mengetik balasan pesan Puspa ketika SMS-nya kembali masuk.
“Menurut Mama, aku kemungkinan akan melahirkan minggu depan. Ingat, janji harus ditepati.”