SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #27

Bab 27 Operasi Cesar

AKU tidak pernah tenang di atas mobil. Sepanjang jalan aku gelisah dan sangat khawatir. Bukan karena mobil berpenumpang sembilan orang itu terlalu sesak. Sebaliknya, kami hanya berempat di atas mobil. Satu penumpang di samping supir. Sementara aku hanya berdua di kursi tengah.

Yang membuat aku gelisah adalah telepon dan SMS Puspa.  Hanya berselang sejam setelah ia mengirim SMS untuk memberitahukan padaku kalau dokter tempatnya memeriksa kandungan memintanya segera ke rumah sakit, ia kembali menelepon. Saat itu, suaranya sudah berubah. Sangat pelan. Puspa seperti sedang menahan sakit yang begitu luar biasa.

"Ayah, aku mungkin harus operasi caesar," kata Puspa di ujung telepon, sekira pukul 22.00 Wita. Ia bilang tekanan darahnya turun naik. Tidak stabil.

Hanya berselang beberapa menit, Puspa kembali mengirim SMS. "Ayah, aku harus dioperasi caesar sekarang.”

Aku tersentak. Kaget bercampur kebingungan. Aku hampir tidak percaya apa yang sedang terjadi. Tadinya aku menduga Puspa ke rumah sakit hanya untuk pemeriksaan kandungan biasa. Kupikir mungkin ada pemeriksaan yang memerlukan alat yang hanya ada di rumah sakit.

 Selain itu, aku hampir tidak bisa mempercayai kalau Puspa harus menjalani operasi caesar karena dua anak kami sebelumnya lahir normal di rumah. Aku baru benar-benar yakin Puspa memang harus menjalani operasi caesar setelah pesannya masuk. Buru-buru aku berkemas dan segera berangkat ke terminal.

Rentetan kejadian itu yang membuat aku tidak pernah tenang selama perjalanan. Belum lagi saat ke luar rumah, mesin motorku  yang rencananya ingin aku pakai untuk pulang tiba-tiba mati. Berkali-kali aku mencoba menghidupkannya kembali, namun tidak bisa. Sebagai orang yang lahir dan besar di pedesaan yang masih kental dengan hal-hal berbau takhayul, kejadian mati mesin itu sangat mengganggu pikiranku. Seolah-olah itu adalah pertanda hal buruk sedang atau akan terjadi.

Masalah lain muncul lagi saat aku memutuskan naik kendaraan umum. Lantaran sudah pukul 10 malam, mobil penumpang di terminal sudah mulai sepi. Untungnya, setelah hampir satu jam menunggu, datang mobil angkutan pelat hitam yang ingin berangkat ke Parepare. Karena pemilik kendaraan baru ingin berangkat setelah penumpangnya penuh, aku dan satu penumpang lainnya yang sedang mengejar jadwal kapal di Pelabuhan Parepare terpaksa membayar enam kursi lainnya.

Bapak mertuaku yang terus mengabarkan kondisi Puspa lewat telepon membuat aku semakin cemas di atas mobil. Berbagai pikiran buruk muncul di kepalaku.

Lihat selengkapnya