SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #28

Bab 28 Mimpi Puspa

PUSPA memandang lurus ke arah langit-langit. Tatapannya kosong seolah-olah ia sedang mengalami trauma yang begitu mendalam. Sudah tiga kali air bening keluar dari sudut matanya. Aku tidak tahu kenapa dia menangis.

Sepuluh menit lalu, kupikir aku sudah kehilangan Puspa. Namun, ketika aku mulai pasrah, jemari tangan Puspa tiba-tiba bergerak lalu perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Ketika dokter yang memeriksanya pergi bersama perawat, aku langsung menghambur memeluk Puspa.

“Ada apa, Sayang?” tanyaku sambil menghampus air mata Puspa yang kembali meleleh di pipinya. “Apa yang terjadi?”

Puspa bergeming. Tidak satu kata pun keluar dari mulutnya. Tapi aku tahu ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.

“Aku salat subuh dulu,” kataku.

Tapi sebelum aku berdiri dari kursi, ia menahan tanganku.

“Ada apa, Sayang?”

Ia masih terdiam. Hanya memandang lurus ke langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

“Kupikir tadi aku sudah akan meninggal,” katanya pelan.

 “Kenapa kau sampai bisa berpikir seperti itu?”

“Saat tidur, aku bermimpi didatangi saudara nenek yang meninggal tahun lalu. Ia mengajakku pergi bersamanya ke suatu tempat. Aku berusaha menolak dan meronta-ronta. Namun, ia terus saja memaksakau dan menarik tanganku. Aku benar-benar takut,” ujarnya.

Aku tidak menimpalinya karena kupikir ia belum selesai.

“Kata orang-orang tua dulu, kalau kita sedang sakit lalu bermimpi bertemu orang yang sudah meninggal kemudian kita mengikutinya, berarti umur kita juga sudah tidak lama lagi,” lanjutnya.

“Itu hanya mimp, Sayang. Kau tidak perlu memikirkannya. Kau mungkin terlalu cemas tadi sebelum operasi, makanya kau bermimpi buruk,” kataku berusaha menenangkan Puspa.

Terus terang saja aku juga khawatir. Seperti halnya Puspa, aku juga sering mendengar kisah-kisah tentang mimpi seperti itu. Walapun aku meyakini kematian adalah rahasia Allah swt, tapi sebagai manusia biasa tetap saja hal itu mengganggu pikiranku.

“Aku takut meninggal. Anak-anak kita masih kecil. Siapa yang akan merawat mereka kalau aku mati. Kalau kau mendadak sakit, siapa yang akan merawatmu.”

“Jangan berpikir yang tidak-tidak. Itu hanya mimpi. Ayo,  tidurlah kembali. Kau butuh istirahat,” kataku lalu memperbaiki selimut Puspa. “Aku salat subuh dulu.”

Puspa mengangguk. Aku buru-buru ke musala lalu singgah di Gedung Melati untuk mengazani Arung. Saat kembali ke Gedung Mawar, Puspa sudah tertidur. Melihat wajahnya sudah mulai cerah dan tampak sangat pulas, aku putuskan beristirahat di ranjang sebelahnya yang kebetulan kosong. Setelah begadang sepanjang malam, aku juga butuh istirahat.

Lihat selengkapnya