SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #30

Bab 30 Tentang Kematian

“HARUSNYA seperti ini setiap hari,” kata Puspa setelah meletakkan teh di atas meja dan duduk di sampingku di ruang tamu.

Kami baru pulang dari M’Tos beberapa menit yang lalu. Tadi saat aku baru tiba di rumah, Syifa yang menyambutku di pintu langsung merengek meminta jalan-jalan ke mal. Melihat Puspa yang berdiri di belakangnya tersenyum, aku langsung paham siapa yang ingin ke mal. Apalagi setelah itu, Syifa mulai berceloteh tentang ulang tahun ibunya.

Di mal, kami makan malam lalu menemani Syifa dan Arung bermain sebentar setelah itu langsung pulang.

“Kalau kau ulang tahun setiap hari boleh-boleh saja,” ujarku.

“Bukan itu maksudku,” ujar Puspa. “Maksudku harusnya kau bisa pulang cepat setiap hari. Tidak usah lagi ke warung kopi. Setelah semua pekerjaan di kantor selesai, langsung pulang ke rumah. Ingat kan, kita mau beli apa?”

Aku tersenyum. Kami ingin beli rumah, beli mobil, dan jalan-jalan ke Pulau Jeju.

“Bagaimana?” tanyanya setelah melihat aku tersenyum.

“Siap Nyonya Besar. Pokoknya, kalau tidak piket dan tidak ada tugas liputan malam, aku pasti pulang cepat.” 

“Janji?”

“Aku janji.”

“Sungguh?”

“Iya. Buat kau, apa sih yang tidak bisa aku lakukan? Kalau hanya sekadar menahan diri untuk tidak ke warung kopi, itu urusan kecil,” kataku sembari menjentikkan jari kelingkingku di depan hidung Puspa.

Puspa merebahkan tubuhnya di dadaku dan memintaku memeluknya.

“Aku hanya tidak ingin kau terlalu capek bekerja. Aku takut kau tiba-tiba sakit,” katanya.

“Aku mengerti,” ujarku.

Kami berdua sama-sama terdiam.

“Dua jam lagi aku sudah berusia 31 tahun. Kata orang, perempuan yang berusia 31 tahun itu akan terlihat lebih menarik. Apa benar begitu, Sayang?”

“Aku tidak tahu. Tapi bagiku, kau akan selalu terlihat menarik.”

Puspa tiba-tiba melepaskan pelukanku kemudian berdiri di hadapanku.

“Aku masih cantik, bukan?”

“Sangat.”

“Masih muda bukan?”

“Seperti anak SMA.”

Puspa tersipu malu. Ia kembali duduk dan memintaku memeluknya. “Apa kau bahagia hidup bersamaku?” tanyanya sebelum mencium punggung tanganku.

Sejak kami menikah, aku mungkin sudah melontarkan pertanyaan itu ratusan kali. Sementara Puspa, ini kali pertama ia bertanyak soal perasaanku hidup bersamanya.

“Setelah kau membaca surat cinta yang kukirim hari ini, menurut bagaimana? Aku bahagia atau tidak?”

“Aku ingin mendengarnya secara langsung.”

“Aku bahagia, Sayang. Sungguh. Aku benar-benar bahagia menjadi suamimu dan menjadi ayah bagi anak-anak kita. Tapi kenapa kau harus menanyakan itu?”

Lihat selengkapnya