SUARA Iwan Fals membangunkanku persis saat Puspa akan mengecup keningku. Awalnya aku mencoba mengabaikannya. Selain memang masih mengantuk, aku juga merasa benar-benar sangat capek.
Tetapi, nada dering itu terus saja menggangguku.
Salahku sendiri. Saat akan tidur subuh tadi, aku meletakkan ponselku persis di samping bantal. Itu sudah kebiasaanku sejak mulai bekerja sebagai wartawan. Alasanku melakukan itu karena perintah liputan bisa datang kapan pun sehingga ponsel tidak boleh jauh apalagi sampai dimatikan. Puspa pernah protes karena menganggap itu terlalu berlebihan. Katanya, presiden saja yang mengurus negara dan 249 juta penduduknya tidak mengaktifkan ponsel mereka 24 jam apalagi sampai membawanya “tidur” di ranjang bersama istrinya. Tapi setelah aku jelaskan alasanku dan alasan kenapa Presiden tidak perlu pusing soal panggilan masuk, ia akhirnya mengerti.
Setelah sekitar dua menit dan sepertinya tidak ada tanda-tanda akan berhenti berdering, aku dengan malas meraih ponselku. Kupikir mungkin ada peristiwa penting sehingga si penelepon terus-menerus menghubungiku. Sebab, aku yakin bukan Puspa yang sedang menelepon. Bukan kebiasaan Puspa menelepon sepagi ini saat sedang pulang kampung.
Aku mengucek mataku kemudian menatap layar ponselku.
Ternyata Aiman.
“Ada apa, Kawan?” tanyaku tanpa gairah mengobrol. “Ini masih terlalu pagi. Dokter akan memarahiku kalau tahu aku bangun secepat ini.”
“Sebaiknya bangun dan lihat jam baik-baik. Ini sudah siang, Kawan. Tidak baik anak gadis tidur pagi. Jodohnya akan jauh. Kau mau jadi perawan tua?”
“Kalau aku anak gadis, berarti kau pria penggoda.”
“Apa agenda liputan pagi ini, Kawan?” Aiman mengalihkan pembicaraan.
Aku tersenyum. Basa-basi basi. Aku yakin sebelum obrolan tentang liputan ini selesai, Aiman akan mengajakku ke Phoenam—sebuah kedai kopi di bilangan Jl. Boulevard yang seperti punya manget seukuran rumah tipe 28 sehingga Aiman rela menghabiskan hampir separuh gajinya di sana tanpa pernah mengeluh sedikit pun. Tapi memang, kopi atau apa pun yang keluar dari dapur Phoenam rasanya pasti sangat enak. Berkunjunglah ke sana kalau kalian tidak percaya.
“Aku tidak punya jadwal liputan pagi. Semua liputan untuk rubrik laporan khusus sudah aku selesaikan kemarin pagi, sekarang tinggal ketik saja,” ujarku lalu menguap panjang. Aku berharap Aiman mendengarnya dan segera mengakhiri obrolan tak penting kami.
Namun Aiman sepertinya tidak peduli. Ia kembali bertanya,“Topik liputan khususmu minggu ini tentang apa?”
“Liputan buah impor,” jawabku.
“Buah yang mana?”
“Ya, buah impor. Kalau buah impor ya, pasti dari luar negeri.”
“Kalau itu anak SD juga tahu. Maksudku, buah impor yang mana? Kau tahu sendiri bukan negeri kita ini hobi mpor. Apa-apa diimpor. Buah-buahan yang di mal, ya? Pasti mengandung formalin atau dilapisi lilin.”
“Sok tahu.”
“Kalau begitu jelaskan.”
“Yang di pinggir jalan.”
“Oh, bilang kek dari tadi.”
“Makanya, kalau bertanya jangan terlalu bernafsu.”
“Tapi, iya juga sih. Penjual buah di pinggir jalan sepertinya memang sudah sangat ramai. Beberapa ruas jalan sekarang sudah seperti pasar dadakan. Setiap sore, macet,” gumam Aiman.
“Ini bukan soal macet, tapi ada apel impor yang masuk ke Makassar yang diduga terkontaminasi bakteri listeria monocytogenes.”
“Ada tidak nama yang bisa lebih gampang dipahami? Atau langsung jelaskan saja, itu bakteri apa?”
“Agak susah menjelaskannya. Intinya, bakteri ini sangat berbahaya kalau masuk ke dalam tubuh manusia,” jelasku.
“Sepertinya menarik,” ujar Aiman seolah ingin meyakinkan aku bahwa ia tertarik ingin tahu lebih banyak tentang apel berbahaya tersebut.
“Ini memang liputan menarik, namun sampelnya masih harus diperiksa di laboratorium untuk memastikan apel-apel itu memang mengandung bakteri berbahaya tersebut atau tidak. Tapi kalau informasi awal dari pegawai BPOM, sudah jelas….”
“Kawan.” Aiman menyela kalimatku.
“Apa?”
“Dari pada membahas apel impor berbahaya itu, lebih baik kau ke sini. Aku di Phoenam sekarang. Dan aku sendirian di kursi bundar.”
Nah, benar, kan? Ujung-ujungnya Phoenam.
“Aku masih mengantuk.”
“Ayolah, segelas kopi susu spesial Phoenam pasti akan menghilangkan kantukmu.”
“Serius, aku benar-benar mengantuk. Begini saja, kita ketemu di sana nanti siang? Dari rumah aku langsung ke Phoenam. Atau kalau aku agak telat ke luar, kita ketemu di Phoenam jam empat sore. Bagaimana? Setuju, oke? Tidak? Terserah. Aku mau tidur lagi.”
“Tunggu dulu, Sobat. Jangan langsung main kabur begitu.”
“Ada apa lagi?”
“Kau juga bisa tidur di sini setelah minum segelas kopi.”
“Aku tidak minum kopi.”
“Oh, sorry aku lupa kalau kau ternyata ‘manusia teh’. Tapi kau ke sini saja, Kawan. Roti goreng telur kornet keju Phoenam hari ini rasanya enak sekali. Selain itu, ada warung soto banjar yang baru buka hari ini di samping Phoenam. Rasanya lezat luar biasa. Serius. Tadi aku sarapan di situ. Kalau sudah mencobanya sekali, aku yakin kau pasti akan ketagihan. Kuahnya saja terlihat sudah sangat menggoda. Sekarang mandilah. Aku tunggu di sini. Oke?” desak Aiman.
“Hanya Puspa yang bisa menggodaku kalau sedang mengantuk seperti ini. Jadi, sudahlah.”
“Sudah apa?”
“Berhenti menggangguku, aku mau tidur,” ketuksu.
“Baiklah, baiklah, silakan lanjutkan tidurmu. Nanti sore kita ketemu di Phoenam. Jangan lupa.”
“Iya. Aku akan datang.”
“Bukan itu.”
“Terus, apa?”
“Jangan lupa setel jam weker.”
“Untuk?”
“Ya, siapa tahu tidurmu keterusan.”
“Kau mendoakan aku mati?”