PUTIH. Hanya itu yang kulihat saat pertama kali membuka mata. Di mana aku? Otakku yang lelah mencoba berpikir, namun tempat itu benar-benar asing bagiku.
Tubuhku sudah penuh dengan peralatan medis. Di wajahku terpasang alat bantu pernapasan. Sementara di dadaku tertempel dua alat berbentuk bulat pipih. Aku tidak tahu apa nama dan fungsinya. Infus sudah terpasang di tanganku. Selain itu ada juga alat medis di jemariku. Seperti yang terpasang di dadaku, aku juga tidak tahu apa nama dan fungsinya.
Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Aku juga tidak tahu aku berada di mana saat ini. Yang masih bisa kuingat, aku berada di ruang gawat darurat yang ramai lalu kemudian aku tidak bisa lagi bernapas dan semuanya menjadi gelap. Aku tidak tahu kapan itu. Tadi siang, kemarin, tiga hari lalu, atau kapan? Aku juga tidak tahu apakah ini pagi, siang, sore, atau malam.
Ruangan ini juga berbeda. Sepi. Hanya rintihan dan suara mirip orang mendengkur yang sesekali terdengar.Aku tidak tahu siapa mereka dan berada di mana. Suara-suara itu seperti tidak nyata. Mereka sepertinya ada di sekitar tempatku sedang berbaring, namun aku tidak bisa melihatnya.
Di mana aku sebenarnya?
Aku memejamkan mataku kemudian membukanya kembali dengan perlahan-lahan. Kelopak mataku terasa begitu berat, tapi bukan karena kantuk.
Mataku baru akan terpejam lagi saat seseorang menyingkap tirai yang ada di hadapanku. Sejurus kemudian, Puspa muncul dari balik tirai itu. Awalnya kupikir bukan dia. Penglihatanku masih kabur dan Puspa terlihat hanya seperti banyangan. Selain itu, ia mengenakan jubbah dokter. Hanya warnanya saja yang berbeda. Aku baru yakin kalau itu benar-benar Puspa saat ia tiba-tiba berseru, “Kau sudah siuman, Sayang!”
Puspa menghambur ke arahku. Berdiri terpaku beberapa saat. Setelah memastikan kalau aku benar-benar sudah siuman, ia memelukku kemudian berlari menerobos tirai, meninggalkanku seorang diri. Tak lama berselang ibuku muncul. Kemudian disusul Tante Hasanah, kakak tertua ibuku, dan banyak lagi yang lainnya. Aku tidak bisa mengenali mereka semua. Sebagian hanya seperti bayangan seperti halnya saat aku pertama kali melihat Puspa.
Dokter dan dua perawat muncul beberapa saat kemudian bersama Pupsa. Aku tidak ingat seperti apa persisnya yang terjadi selanjutnya. Yang masih bisa kuingat, saat orang-orang berkumpul mengelilingi tempat tidurku, aku merasakan sakit yang begitu luar biasa di bagian perutku. Setelah itu, kepalaku terangkat ke atas dan aku mulai muntah.
Aku mendengar dokter berteriak memerintahkan perawat melepas masker di wajahku yang sudah belepotan terkena muntahan makanan. Aku melihat ibuku menangis. Tante Hasanah memelukku sembari memintaku mengingat Allah swt.
Aku menggigil, lalu semuanya gelap.
***
Aku kembali terbangun dari komaku saat azan subuh berkumandang di masjid RS Wahidin Sudirohusodo.
Ajaib. Sesak napasku hilang. Aku juga sudah tidak merasakan sakit di bagian perutku. Mataku yang semalam terasa begitu berat untuk dibuka juga sepertinya sudah normal kembali.
Aneh. Aku merasa seperti bukan orang yang sedang sakit. Aku merasa sangat sehat. Tadi saat terbangun, aku merasa hanya seperti orang yang baru bangun tidur.
Aku mencoba untuk duduk. Tapi tidak mampu. Aku tidak bisa merasakan apa pun mulai bagian perut hingga kakiku.
Sekarang aku sudah tahu aku berada di mana. Ternyata aku sedang di ICU. Aku mengetahuinya setelah membaca tulisan di selimut yang menutupi separuh tubuhku.
Puspa muncul beberapa menit setelah aku tersadar. Saat melihat aku tersenyum, dia berdiri mematung sambil menatapku dengan ekspresi kebingungan. Seolah-olah ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Saat aku mengangkat tanganku dan memintanya mendekat, ia langsung menghambur memelukku kemudian menangis.
Setelah memastikan aku baik-baik saja, ia memberitahu dokter jaga ICU yang bergegas datang memeriksa keadaanku. Tak berselang lama setelah dokter yang memeriksaku pergi, ibu dan nenek mertuaku muncul. Mereka bergantian memelukku sambil menangis. Beberapa menit kemudian, ayahku juga muncul. Seperti ibuku, ayahku yang menyayangi aku melebihi apa pun di muka bumi ini langsung menangis dan memelukku. Ayahku sesunggukan seperti anak kecil. Sepertinya ia benar-benar sangat mencemaskanku.
“Kau sudah membuatku khawatir, Sayang,” ujar Puspa setelah ayah, ibu, dan nenek mertuaku keluar dari ICU.
Beberapa saat lalu, perawat datang memberitahu bahwa hanya satu orang anggota keluarga yang bisa menemaniku di dalam ruang ICU. Menurut mereka, aku sudah lepas dari koma dan tidak boleh lagi terlalu banyak orang yang menemuiku.