SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #34

Bab 34 Guillain-Barre Syndrome

AKU didiagnosa menderita penyakit Guillain-Barre Syndrome (GBS).

 “Dari semua tanda-tanda awal serangan kemungkin besar ini adalah penyakit GBS. Penyakit ini memang menyerang secara tiba-tiba,” kata dr Irwan.

“GBS? Itu penyakit apa, Dok?” tanya Puspa.

“Ini termasuk salah satu penyakit langka. Penyakit ini merupakan penyakit autoimun. Antibodi tubuh yang seharusnya melindungi tubuh dari virus, justru menyerang sel-sel tubuh sendiri. GBS dapat mengancam jiwa karena menyebabkan kelumpuhan otot pernapasan sehingga penderita harus menggunakan ventilator seperti yang dipakai Pak Mario saat ini. Sejauh ini, belum ada ahli yang mengetahui penyebabnya. Virus ini menyerang otot dan hanya menjangkiti 1 dari 40.000 orang. Penyakit ini timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga mengakibatkan tidak ada pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat diterima otot yang terserang,” jelas dr Irwan.

Aku dan Puspa hanya mangguk-mangguk mendengar penjelasan panjang lebar dr Irwan. Kami tidak paham beberapa istilah yang disebutkan sang dokter.

“Lalu obatnya, Dok?” tanya Puspa.

“Obat GBS ini, untuk sementara cuma satu. Hanya gamamune atau imuno globuline seperti yang kami infuskan sekarang. Harganya memang sangat mahal. Jadi kita akan lihat perkembangan selanjutnya. Ada kemungkinan obat yang digunakan masih akan ditambah, tergantung kondisi dan perkembangan Pak Mario,” kata dr Irwan.

“Tapi dengan obat itu suami saya akan sembuh kan, Dok?” tanya Puspa lagi. Ia menoleh menatapku setelah bertanya. Aku hanya tersenyum. Aku tahu dia sedang khawatir. Setelah mengetahui kalau aku tidak bisa menggerakkan kakiku, pasti banyak pikiran-pikiran buruk berseliweran di pikirannya.

“Kalau soal itu, kami tidak bisa menjamin. Pada beberapa kasus GBS, pasien akan mengalami masa kritis beberapa hari. Jadi kita patut bersyukur karena Pak Mario bisa melewati masa kritisnya dengan cepat. Tapi kita masih akan melakukan pemeriksaan lanjutan,” ujar dr Irwan.

“Pemeriksaan apa, Dok?” tanya Puspa.

“Sebentar akan datang dokter yang akan mengambil cairan sumsum tulang belakang, Pak Mario. Hari ini, kita juga akan melakukan foto torax dan CT scan. Pemberian gamamune juga akan kita lanjutkan sambil melihat perkembangan Pak Mario,” ujar dr Irwan.

Puspa masih pensaran dan ingin bertanya lebih jauh. Namun, dr Irwan tampaknya sangat sibuk. Setelah melengkapi catatannya di rekam medikku dan menyerahkannya ke perawat yang mendampinginya, ia buru-buru pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.

Sebelum dr Irwan menghilang dari pandangan kami, Puspa sudah menghambur ke arahku. Ia menangis dalam pelukanku.

“Berdoalah. Semoga yang kita khawatirkan tidak terjadi,” ujarku mencoba menenangkannya. “Di mana anak-anak?”

Puspa melepaskan pelukannya. Ia mengusap air matanya kemudian berkatan, “Mereka ada di rumah. Hari ini mereka akan ke sini, tapi security tidak mungkin mengizinkannya masuk.”

“Kasihan mereka.”

 

                                               ***

 

Seperti kata dr Irwan, serangkaian pemeriksaan harus aku jalani  hari itu. Setelah beberapa dokter datang ke ICU untuk mengambil cairan sumsum tulang belakangku, aku kemudian menjalani foto torax dan CT scan di ruangan lain. Puspa yang terus mendampingiku terlihat kelelahan. Apalagi ia beberapa kali harus ikut membantu mengangkat aku. Untungnya, setelah seluruh pemeriksaan selesai, dia sudah bisa beristirahat. Aku sudah melewati masa kritis dan Puspa hanya masuk ke ICU saat dokter atau perawat memanggilnya.

Keesokan harinya, aku kembali menjalani beberapa pemeriksaan lanjutan. Dan menjelang sore, setelah gamamune kesembilan habis, dokter akhirnya memastikan kalau aku tidak terserang GBS. Pemberian gamamune langsung dihentikan.

Akan tetapi, kabar baiknya hanya sebatas bahwa aku tidak terserang penyakit langka itu. Jenis penyakitku yang sebenarnya sama sekali belum bisa diketahui tim dokter.

Malam setelah pemberian gamamune dihentikan aku sempat panik. Tiba-tiba saja aku cegukan. Itu berlangsung selama berjam-jam yang membuat aku hampir tidak tidur sepanjang malam. Saat itu, aku benar-benar khawatir. Aku takut akan mengalami sesak napas lagi.

Kejadian sama berulang malam berikutnya. Aku kembali mengalami cegukan selama berjam-jam. Cegukanku baru berhenti setelah Puspa menambah bantal di bawah kepalaku sehingga posisi kepalaku sedikit lebih tinggi.

Hingga hari ketujuh, penyakitku masih menjadi misteri sehingga dokter memutuskan melakukan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Ini untuk merekam kondisi sumsum tulang belakangku. Hasil MRI ini menurut dokter akan memberi gambaran lebih jelas dibandingkan x-ray biasa maupun CT scan.

Setelah menjalani MRI, aku dipindahkan ke instalasi rawat inap. Sejak hari itu, aku mulai ditangani dr Kemal Ralla, salah satu dokter spesialis saraf terbaik rumah sakit itu. Meski begitu, penyakitku masih tetap menjadi misteri. Itu membuat aku dan Puspa semakin khawatir.

“Mungkin ada infeksi atau tumor,” kata dr Kemal tampak kurang yakin saat aku bertanya kepadanya.

Pemeriksaan lanjutan menunjukkan dua diagnosa itu meleset. Dan tiga hari kemudian, dr Kemal menyampaikan diagnosa baru. Menurutnya, aku kemungkinan mengalami penyempitan syaraf di tulang belakang. Makanya selain fisioterapi untuk merangsang syaraf-syaraf di kakiku, dr Kemal juga meminta aku menjalani terapi oksigen hiperbarik.

Hampir dua pekan aku menjalani terapi oksigen hiperbarik. Akan tetapi, sama sekali tidak ada perubahan yang bisa membuat kekhawatiranku bersama Puspa sedikit berkurang.

Lihat selengkapnya