“WAJAHMU tidak perlu sedih begitu, Kawan. Puspa hanya pergi satu jam, bukan satu bulan. Sebelum magrib, dia pasti sudah kembali lagi ke sini. Sudah, berhenti bersedih. Tampang preman kok berhati Hello Kitty.”
Aiman mengoceh sendiri sambil duduk di bibir ranjang. Ia datang lima menit lalu persis saat Puspa baru akan keluar. Katanya ia mendapat penugasan dari redaksi untuk mengambil beberapa foto di Terminal Daya. Karena sudah beberapa hari tidak datang membesukku, ia putuskan untuk sekalian singgah ke rumah sakit.
“Ada apa sih?” tanya Aiman. Melihatku hanya terdiam, ia melanjutkan, “Ayolah, Kawan. Puspa hanya keluar untuk belanja. Tidak lama lagi ia pasti akan pulang ke sini. Lagi pula masih ada aku. Kalau Puspa lama, aku yang akan menemanimu di sini sampai dia pulang. Berhenti bersedih. Wajah kok mendung. Yang mendung itu hanya langit. Kau tidak pantas….”
“Dokter sudah tahu penyakitku, Kawan,” potongku.
“Oh, ya? Itu kabar bagus,” ujar Aiman sedikit terkejut. “Lalu?”
“Lalu, apa?”
“Ya, maksudku, kau sakit apa?”
“Aku terserang Meylitis Transversa.”
“Apa?”
“Me-y-li-tis Trans-ver-sa.”
“Wah, penyakit apa lagi itu?”
“Peradangan.”
“Kalau radang berarti tidak parah dong,” kata Aiman tampak senang.
“Ini bukan seperti radang tenggorokan yang sudah bisa sembuh hanya dengan berkumur air garam hangat atau air perasan lemon. Ini peradangan di sumsum tulang belakang. Penyakit yang sangat langka.”
Aku menjelaskan bagaimana sulitnya pengobatan Meylitis Transversa. “Pengobatan pasien berbeda-beda sesuai penyebab dan kerusakan yang terjadi. Tapi pengobatan awal dan umum adalah dengan infus steroid dosis tinggi. Dari yang aku baca di situs National Institute of Neurological Disorders and Stroke, untuk yang akut sepertiku, cara pengobatannya dengan Plasma Exchage Theraphy (Plasmapheresis). Juga bisa dengan Intravenous Imunoglobulin (IVIG). Namun, aku dengar Plasmapheresis atau PLEX dan IVIG biayanya sangat mahal. Bisa sampai 200 juta. Kalau semahal itu, aku angkat tangan,” ujar Arung.
“Kau serius, Mario?”
Aku mengangguk. “Makanya aku tidak yakin masih bisa sembuh. Mungkin sekarang aku sudah harus siap-siap mengajukan surat permintaan pensiun dini ke kantor. Aku sudah ‘selesai’ dan tidak mungkin bisa bekerja lagi, Kawan.”
Aiman yang pada dasarnya adalah tipikal orang yang suka bercanda seketika tampak serius. Sebagai sahabat, ia mengenalku luar dalam. Ia yakin penyakitku pasti memang sangat parah.
“Jangan putus asa seperti itu, Kawan. Kau punya tiga anak dan ada Puspa yang sangat mencintaimu. Kau harus menjaga semangatmu dan terus berjuang untuk mereka. Aku yakin kok kau akan sembuh dan pulih seperti sediakala. Keajaiban itu selalu ada Saudaraku. Saat ini, yang perlu kau lakukan hanya terus berusaha dan berdoa. Yakinlah suatu saat nanti kamu pasti akan sembuh. Ingat kan kisah Wilma Rudolph yang saku ceritakan beberapa hari lalu?”
Wilma Rudolph adalah warga Amerika Serikat yang sejak usia empat tahun menderita radang paru-paru, demam tinggi dan akhirnya berujung polio. Karena penyakit itu, Wilma lumpuh. Dokter yang menanganinya sudah memvonis Wilma akan lumpuh selamanya setelah kakinya mulai mengecil dan tak bereaksi apa pun saat disentuh atau ketika coba digerakkan. Namun Wilma tidak pernah patah semangat. Dia punya keyakinan akan menjadi wanita tercepat dunia di lintasan lari. Ribuan kali dia terjatuh saat mencoba berdiri. Tapi Wilma terus berusaha untuk berdiri. Setiap hari ia berjuang. Sejarah kemudian mencatat, pada Olimpiade tahun 1960, Wilma Glodean Rudolph memenangkan medali emas di lintasan lari 100 meter, 200 meter dan estafet 400 meter.
“Kau hanya perlu seperti Wilma karena kau juga orang yang kuat, Kawan. Kau pasti akan sembuh. Kita pasti akan ngopi dan ngeteh bareng lagi di Phoenam,” kata Aiman berusaha menghiburku kembali.