“SERIUS mereka langsung sembuh!” kataku sambil memperbaiki letak HP di telingaku.
“Abdi, fotografer baru kita tadi malam meliput di sana. Ia melihat dengan mata kepala sendiri orang-orang yang datang dengan dipapah langsung bisa berjalan sendiri ke mobil saat mereka pulang setelah diobati,” jawab Aiman.
“Luar biasa sekali, ya?”
“Makanya kau juga harus ke sana sebentar malam.”
“Malam ini?”
“Iya.”
“Tapi...” Aku tidak meneruskan kalimatku.
“Tapi kenapa?”
“Kau yakin mereka bisa menyembuhkanku?”
“Ini bagian dari ikhtiar, Kawan. Sembuh atau tidak, itu urusan Tuhan,” jawab Aiman. “Ayolah, tidak ada salahnya mencoba. “
“Kalau begitu, terserah kau saja. Yang jelas ini bukan penjual obat aneh seperti yang tempo hari kau bawa ke rumah. Sudah cukup dua orang itu. Kau tahu sendiri kan Puspa orangnya seperti apa. Setiap kali ada yang menawarkan obat yang katanya bisa menyembuhkan segala macam penyakit, dia langsung membelinya.”
“Puspa hanya ingin melihat kau sembuh, Kawan.”
“Itu kalau sembuh. Tapi kalau seperti sekarang, tidak ada perubahan, bagaimana? Aku bisa bangkrut.”
“Yang bangkrut itu pengusaha. Kalau orang kayak kita ini, bukan bangkrut tapi semakin miskin.” Aiman tertawa. Dia senang selera humorku tidak hilang meski perjuanganku untuk sembuh begitu berat. “Aku ke rumahmu setelah magrib. Sekalian, numpang makan malam. Sudah lama aku tidak merasakan masakan Puspa.”
“Siap, Bos.”
Aiman menutup telepon persis saat Puspa muncul di pintu kamar. Saat itu sudah pukul empat sore. “Tidak biasanya Aiman menelepon sore-sore begini. Ada apa?” tanya Puspa sesaat setelah membaringkan Arung di atas ranjang.
Aku menceritakan pengalaman Abdi dan rencana Aiman membawaku ke tempat pengobatan alternatif. Mata Puspa seketika berbinar. Dia seperti orang yang menemukan jalan keluar dari hutan belantara yang menakutkan setelah tersesat selama berhari-hari.
Sekeras apa pun usahanya untuk bersabar, Puspa tetap tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya melihat kondisiku. Sudah sebulan lebih kami di rumah, namun aku sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Padahal, selain terapi dan makan obat yang diresepkan dr Kemal, aku juga sudah mengkonsumsi berbagai macam obat herbal. Aku bahkan sudah sempat ke tempat pengobatan alternatif meski hanya datang sekali. Kami memutuskan tidak kembali lagi karena yang mengobati aku lebih banyak geleng-geleng kepala. Katanya, ia baru pertama kali menemukan penyakit aneh seperti yang kuderita dan mengaku benar-benar bingung mengobatinya.
Menjelang petang, Puspa sudah bersiap-siap. Dia tampak sangat bersemangat. Kali ini, dia benar-benar berharap sebuah keajaiban atau paling tidak bisa melihat ada tanda-tanda kalau aku memang masih bisa disembuhkan.
Tak berselang lama setelah Puspa menyiapkan makanan di meja makan, Aiman dan Abdi muncul. Kami langsung makan malam lalu berangkat. Saat tiba di tempat praktik pengobatan alternatif itu, antrean orang sudah mengular. Melihat banyaknya orang yang datang berobat, Puspa tampak semakin bersemangat.
“Semoga yang diceritakan Abdi benar, Sayang,” bisiknya.
“Amin. Berdoa saja.”