MENINGGALKAN Makassar ternyata tak semudah seperti yang kupikirkan. Masa depan dan impian indah yang kubangun selama bertahun-tahun bersama Puspa seperti rubuh dengan keputusan itu. Kami akan pulang kampung sebagai orang yang kalah oleh nasib buruk. Meylitis Transversa sudah merenggut segalanya dariku dan keluargaku. Keceriaan. Kebahagian. Semuanya. Tidak ada yang disisakan penyakit langka ini. Di hadapan kami kini hanya terpampang sebuah kehidupan yang tanpa harapan dan kepastian. Jalan menuju masa depan yang menunggu kami begitu gelap. Penuh kesedihan. Rasa sakit. Dan, linangan air mata.
Tinggal jauh di kampung akan membuat aku sepenuhnya hanya bisa berharap pada mukjizat dari Sang Pencipta. Tanpa belas kasih Tuhan, semua akan sangat menakutkan bagiku, untuk Puspa, dan buat ketiga buah hati kami.
Aku semakin sedih saat memikirkan bahwa malam ini akan menjadi malam terakhirku di rumah yang telah membuat ikatan cintaku dengan Puspa semakin kuat. Rumah sederhana ini dalam waktu singkat sudah memberi kami banyak kebahagiaan. Di rumah inilah kami membangun impian. Impian yang indah tentang masa depan. Impian yang sayangnya kini kandas di tengah jalan.
“Begitu banyak kenangan indah yang akan kita tinggalkan di rumah ini. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya harus tinggal jauh dari rumah kita,” ujarku pelan seraya memandang lurus ke langit-langit kamar.
Puspa yang baru saja terpejam membuka matanya kembali. Dia menoleh menatapku sejenak kemudian menghela napas panjang.
“Bukan hanya kau, aku juga sedih harus meninggalkan rumah ini, Sayang. Tapi percayalah, suatu hari nanti kita akan kembali lagi ke sini. Ini rumah kita, rumah kita bersama anak-anak jadi jangan khawatir.”
“Apakah menurutmu keputusan kita sudah tepat?”
Meskipun aku yang membuat keputusan untuk pulang kampung, aku tetap tidak mampu menyembunyikan kegundahanku. Kemarin malam aku bahkan sempat merasa ragu dan memikirkannya kembali hampir sepanjang malam. Aku sungguh-sungguh takut membuat keputusan salah yang akan kusesali di kemudian hari.
Bagiku, ini keputusan yang sangat penting. Sebab, setelah kami melangkah keluar dari rumah ini, akan sangat sulit untuk kembali. Apalagi, jika melihat kondisiku saat ini.
“Maksudmu?”
“Aku takut kita membuat keputusan yang keliru, Sayang.”
“Sudahlah. Bismillah saja.”
Puspa meraih tanganku dan menggenggamnya.
“Kau harus semangat,” ujarnya.
“Bagaimana kehidupan kita selanjutnya setelah meninggalkan kota ini.”
“Kita akan hidup normal, Sayang. Anak-anak akan tumbuh dan bersekolah di kampung. Sama seperti kita saat masih seumuran mereka. Makanya kau tidak perlu khawatir. Kita hanya akan pulang Sayamg. Rumah yang akan kita datangi adalah rumah orang tua kita. Bukan rumah orang lain. Tidak akan ada yang berbeda.”