SURAT CINTA UNTUK ISTRIKU

Mario Matutu
Chapter #42

Bab 42 Rumah Masa Kecil

JANUARI yang penuh hujan.

Setelah mandi dan berpakaian, aku kembali naik ke kursi roda dan bersantai di beranda belakang rumah. Segelas teh panas dan beberapa potong pisang goreng menemaniku bersama gerimis siang.

Kawanan bangau putih yang datang mencari makan sejak pagi, masih bertahan di pematang sawah. Pada musim tanam seperti ini, makanan bagi burung berleher panjang itu memang melimpah di areal persawahan. Selain aneka jenis serangga dan katak, mereka juga bisa menikmati daging ikan betok serta gabus.

Sawah.

Ikan.

Kenangan.

Aku tersenyum di atas kursi roda. Aku teringat masa kecilku.

Dahulu. Ketika masih anak-anak, aku sering memancing di beranda belakang rumah masa kecilku ini. Ikan hasil pancinganku aku pelihara di toples untuk hiasan meja ruang tamu. Dengan tambahan sedikit lumut dan batu karang sungai, ikan-ikan dalam toples kue  itu tidak kalah cantik dibandingkan ikan yang dipelihara di akuarium.

Saat musim panen tiba, sawah menjadi tempatku bermain. Biasanya, sepulang mengaji, aku dan teman sebayaku bermain layang-layang. Setelah tanah mulai mengeras, kami membuat lapangan sepak bola dan bermain bola setiap sore hingga musim hujan tiba kembali. 

Selain di sawah, masa kecilku juga banyak aku habiskan di sungai perbatasan desa yang jaraknya hanya beberapa puluh meter dari rumahku. Kami biasanya berenang setiap sore saat air laut sedang pasang.

Berdasarkan cerita rakyat yang dikisahkan secara turun temurun di kampung kami, sungai itu konon dihuni buaya jelmaan manusia bernama Nenek Buro. Menurut cerita orang-orang tua di kampungku, saat mendengar namanya dipanggil, Nenek Buro akan muncul. Makanya, kalau sudah ada yang berteriak, “Oh Nenek, ambil cucumu”, kegiatan bermain kami di sungai otomatis berakhir. Semua orang akan secepat kilat berenang ke tepian dan keluar dari air. Meski belum pernah melihatnya secara langsung, aku tidak pernah menguji nyaliku dengan tetap bertahan di dalam air saat sudah ada yang berteriak memanggil Nenek Buro. Tapi perasaan takut itu akan hilang dengan sendirinya seiring bergantinya hari. Sore keesokan harinya kami akan kembali bermain di sungai, bersenang-senang, tanpa rasa takut sedikit pun.

Tapi bukan hanya kenangan indah, aku juga punya pengalaman buruk di sungai. Selain tiga kali nyaris tenggelam, aku juga pernah menemukan mayat. Peristiwa itu terjadi saat aku masih remaja. Saat itu, aku bersama sepupu-sepupuku yang datang dari Makassar menemukan mayat seorang perempuan tua mengapung di anak sungai saat kami sedang memasang jebakan untuk menangkap kepiting. Hari itu, orang-orang sekampung gempar dan aku tidak bisa tidur nyenyak selama berhari-hari.

Aku masih bersama kenangan masa kecilku saat Puspa muncul dan memelukku dari belakang.

Dua jam lalu, Puspa ke rumah orang tuanya. Aura dan Syifa menelepon dan meminta ibunya untuk datang karena mereka ingin ditemani belanja perlengkapan sekolah yang belum sempat mereka beli beberapa hari lalu.

“Sudah pulang, Sayang?”

“Aku buru-buru karena harus ke Makassar untuk membeli obat,” jawab Puspa. “Tadinya aku ingin langsung berangkat, tapi khawatir kau tidak bisa pindah sendiri ke tempat tidur.”

“Aku bisa kok. Kau berangkat saja sekarang supaya bisa pulang cepat. Aku hanya bisa menahan rindu sampai jam sepuluh malam,” ujarku bercanda.

Puspa tertawa ringan.

“Kalau begitu sepertinya aku memang sudah harus berangkat sekarang,” katanya lalu melepaskan pelukannya dan masuk ke kamar. Tak berselang lama, Puspa muncul kembali dan langsung berangkat setelah mencium kepalaku.

Ini sudah tahun kedua kami tinggal di kampung. Sekarang aku sudah bisa menggerakkan kakku dan pindah ke kursi roda tanpa bantuan orang lain. Tapi untuk berdiri aku sama sekali belum bisa. Selain karena terus menerus kesemutan, kakiku juga seringkali tiba-tiba terangkat saat aku sedang latihan berdiri.

Dokter Kemal yang pernah datang menjenguk sekaligus memeriksaku mengatakan aku memang harus bersabar. Menurutnya, pasien dengan penyakit radang sumsum tulang belakang sepertiku ibarat komputer yang mesti diinstal ulang. Proses untuk bisa berjalan semuanya harus aku pelajari dari awal lagi dan itu bisa berlangsung bertahun-tahun.

Setahun terakhir aku sudah bekerja kembali. Aku terpaksa bekerja karena sudah ada pemberitahuan dari kantor bahwa gajiku akan dipangkas 70 persen jika tidak menjalankan tugas selama setahun.

Awal bekerja kembali rasanya sangat sulit. Entah pengaruh obat atau apa, aku kesulitan berpikir. Sementara pekerjaan sebagai jurnalis menuntut aku untuk berpikir. Namun, lama kelamaan aku akhirnya bisa bekerja dengan normal kembali.

Beberapa bulan setelah kembali bekerja, aku juga diperbantukan sebagai redaktur media online yang baru dibikin oleh perusahaan. Itu untuk menormalkan kembali gajiku yang sudah dipangkas 30 persen setelah tak bekerja selama beberapa bulan. Meski sebenarnya sangat kerepotan, aku tidak punya pilihan lain. Selain setiap bulan masih harus membayar cicilan di bank, kami juga punya banyak kebutuhan lain, termasuk untuk obat dan biaya terapi. Dua bulan setelah pulang, kami menemukan fisioterapis yang bersedia datang dan membantuku di rumah.

Hampir tiga jam aku duduk di serambi belakang sebelum akhirnya memutuskan kembali ke kamar dan mulai bekerja. Aku bekerja hingga malam dan hanya beristirahat untuk makan dan salat.

Puspa kembali pukul sepuluh malam. Dia tampak kelelahan.

“Ada satu obat yang habis di rumah sakit, makanya aku agak lama karena harus keliling dulu untuk mencari apotek yang menjual obat itu,” jelas Puspa sebelum aku sempat bertanya.

“Aku benar-benar sudah menyusahkanmu,” kataku setelah Puspa berbaring di sampingku bersama Arung.

“Ini sudah tugasku sebagai istri dan aku sudah mengatakannya ratusan kali,” ujarnya. “Sudah larut malam, ayo kita tidur.”

Puspa memejamkan matanya. Tapi aku yakin dia belum tidur. Sementara Arung yang berbaring di sampingnya sudah terlelap beberapa saat lalu.

“Kau pasti sangat lelah.”

“Ehemm.”

“Seharusnya aku sakit saat masih remaja. Dengan begitu kau tidak harus ikut susah seperti saat ini.”

“Kalau kau sakit saat masih remaja, kita tidak akan ketemu dan menikah dong,” kata Puspa tanpa membuka matanya..

“Aku serius, Sayang.”

Lihat selengkapnya