DAN Puspa benar-benar pergi. Dia pamit kepada ibu dan ayahku segera setelah aku mandi dan berganti pakaian.
Ibu dan ayahku tampak sangat terkejut.
“Kau mau ke mana, Nak?” tanya ibuku dengan wajah keheranan.
“Mario menyuruhku pergi, Ma,” jawab Puspa.
“Maksudmu?” tanya ibuku kembali. “Ada apa dengan kalian?”
Melihat Puspa hanya mengangkat bahunya, Ibu menoleh ke arahku. Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Puspa menyalami dan mencium tangan ayah dan ibuku lalu berjalan ke arah tangga bersama Arung. Dari depan kamar, aku masih bisa mendengar Arung bertanya kenapa aku tidak ikut bersama mereka seperti biasa saat kami pindah dari rumah neneknya yang satu ke rumah neneknya yang lain.
Ibu dan ayahku menyusul Puspa turun ke bawah. Setelah Puspa pergi, mereka kembali dan menemuiku.
“Ada apa, Nak?” tanya ibuku. “Apakah kalian bertengkar?”
Aku menggeleng.
“Tapi kenapa Puspa tiba-tiba pergi?”
“Aku ingin belajar mandiri dan mencoba untuk tidak bergantung pada siapa pun,” ujarku.
Ibuku menggeleng-gelengkan kepala.
“Kau akan kerepotan, Nak,” katanya. “Kau tidak akan bisa bertahan hidup tanpa istrimu.”
Ayahku yang berdiri di samping Ibu mengangguk membenarkan..
“Aku tidak ingin membahasnya, Ma. Aku harus bekerja sekarang.”
Aku memutar kursi rodaku dan kembali ke kamar.
Dan, seperti kata ibuku, aku benar-benar kerepotan setelah kepergian Puspa. Pekerjaan yang selama ini dikerjakan Puspa semuanya kini harus aku lakukan sendiri. Itu membuatku sungguh kewalahan. Tapi aku sudah bertekad untuk tidak menyerah. Meski produktivitasku di kantor seketika menurun aku mencoba bertahan.
Aku berhasil melewati hari-hari yang begitu berat. Namun, masalah besar kemudian muncul. Ibuku yang mengurus semua keperluanku setelah Puspa pulang ke rumahnya tiba-tiba sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit. Awalnya, Ibu hanya mengeluh sakit perut dan dokter menyatakan ia kemungkinan mengalami gangguan usus. Kami pikir itu hanya gangguan usus biasa, namun ternyata jauh lebih parah dari yang kami bayangkan. Beberapa hari kemudian, dokter memvonis ibuku terkena kanker hati dan sudah stadium empat.
Seminggu setelah ibuku dirawat di rumah sakit, aku menghubungi Puspa. Menelepon Puspa adalah keputusan sulit dan terasa seperti tamparan di wajahku.
“Mama sakit,” ujarku.
“Aku sudah tahu,” kata Puspa di ujung telepon. “Sekarang aku di rumah sakit.”
“Sejak kapan?”
“Sejak hari pertama Mama di rumah sakit,” katanya.