Surat dari Kematian

Falcon Publishing
Chapter #1

ZEIN ANGGORO

ZEIN ANGGORO percaya bahwa alam semesta senantiasa memberikan pertanda bagi manusia. Itulah yang sering diingatkan oleh orang tua dan kakeknya. Alam akan selalu menampakkan tanda-tanda, entah itu pertanda untuk hal yang baik, maupun pertanda untuk hal yang buruk. Tinggal manusianya sajalah yang memilih, mau mengindahkan tanda-tanda alam tersebut atau tidak.

Tansah mirengaken saubenge sampeyan, Le, amargi pertandha alam punika klintu setunggal cara Gusti Allah berkomunikasi karo manungsa.”* Begitu petuah almarhum kakeknya dulu. “Salajeng peka, mawas badan, udhar mripat, udhar manah. Ampun dados manungsa sombong ingkang boten nyaekaken tandha-tandha alam, amargi punika artosipun sampeyan boten nyaekaken tandha-tandha saking Gusti Allah.”** 

Zein memegang betul petuah tersebut bahkan setelah ia menjadi mahasiswa. Dan, malam itu, pemuda kurus berwajah tirus tersebut menajamkan seluruh indranya untuk bisa menangkap pertanda dari alam. Alam pun menunjukkan tanda-tandanya kepada Zein.

Gelap malam mendadak menjadi lebih pekat, kendati bulan masih menyembul di balik awan, memantulkan cahaya pucat. Udara terasa menyesakkan, oksigen seperti direbut kembali secara rakus oleh pepohonan. Ranting-ranting dan daun-daun di pucuk pepohonan berayun-ayun, padahal embusan angin terasa kering dan lemah. Angin pun tidak membawa dingin. Namun, hawa beku menjalari kaki lalu naik ke punggung Zein.

Zein merasa alam hendak berkata bahwa sesuatu yang buruk akan datang sebentar lagi. Gelap dan dingin yang mengundang gigil seperti itu tidaklah normal. Zein menarik napas seraya melantunkan doa. Ia melangkahkan kakinya menyusuri Jembatan Perawan.

Nama jembatan tersebut memang tidak biasa—dan bagi orang-orang yang berbudi tidak luhur, pastilah akan muncul lelucon-lelucon tak pantas di kepala mereka begitu mendengar nama tersebut—padahal kata “Perawan” di sana merupakan singkatan dari Pertanian dan Kedokteran Hewan. Dinamakan demikan karena jembatan pedestrian itu memang menghubungkan Fakultas Pertanian dan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Di siang hari, jembatan tersebut sangatlah praktis, membantu banyak mahasiswa yang hendak menyeberang. Namun, di malam hari, jembatan yang sama justru dihindari oleh siapa pun yang sudah pernah mendengar legenda sang penunggu jembatan.

Zein juga begitu. Jika bukan karena terpaksa, ia enggan sekali melewati Jembatan Perawan. Akan tetapi, apa boleh buat. Dengan menguatkan hati, ia berjalan menyusuri jembatan beton itu. Langkahnya bergema pelan. Decit sol sepatu kets beradu dengan lantai semen jembatan menjadi satusatunya bunyi yang kentara tertangkap oleh gendang telinga. Sisanya adalah bebunyian lirih, campuran derau sayup angin yang bertiup, kertak-kertuk lembut dari ranting serta daun yang beradu, dengkung kodok, keciap anak ayam dari kejauhan, serta suara-suara samar lain yang entah berasal dari mana, atau berasal dari apa. Zein tak bisa mengidentifkasi mereka, sehingga menimbulkan ragu serta kecurigaan.

Zein berhenti, terkesiap, merasakan sesuatu lewat di antara tungkai kakinya. Mungkin angin, tapi terasa lebih padat dari sekadar zat gas sampaisampai Zein perlu melihat ke bawah, mengira ada semacam kain tipis melintas di antara kedua kakinya itu. Tentu saja tidak ada apa-apa di sana.Ketika Zein mendongak lagi, ia mendapati sesosok wanita berpakaian putih dan berambut hitam panjang sepinggang muncul begitu saja seolah datang bersama angin aneh barusan. Sosok itu berdiri kurang lebih dua meter di depannya.

Napas Zein terhenti sejenak. Kedua matanya terbelalak. Ia langsung tahu siapa yang berdiri di hadapannya itu kendati sosok tersebut memunggunginya. Jantungnya berdentum cepat. Zein menelan ludah.

Ia teringat kembali pada petuah almarhum kakeknya. “Le, menawi sampeyan nyaekaken tandha-tandha alam, artosipun sampeyan nyaekaken Gusti Allah. Sampeyan mirengaken Gusti Allah. Kaliyan mekaten, Gusti Allah pun badhe nyaekaken sampeyan, Le. Mirengaken sedaya panedha sampeyan, ngabulke pandonganipun sampeyan, nyukakaken tulungan-Nya dhumateng sampeyan.”***

Zein merapalkan kembali untaian-untaian doa, meminta perlindungan dari Yang Mahakuasa. Doa Zein terhenti di tengah-tengah saat ia mendengar kikikan riang. Bulu kuduk Zein meremang. Suara kikikan itu mirip gema dari kejauhan. Hanya saja, Zein tahu bahwa suara kikikan itu berasal dari sosok berpakaian putih di depannya.

Lihat selengkapnya