Surat dari Kematian

Falcon Publishing
Chapter #2

KINANTI ARUMI WAHAB

ZEIN hampir kena serangan jantung ketika seorang cewek berpenampilan tomboi muncul begitu saja di bawah jembatan.

Piye, Zein? Gimana?”tanya Kinan.

Wedhus kowe,* Kin! Hampir saja aku pingsan!”

“Kamu kira aku hantu, ya?” ledek Kinan, tertawa-tawa.

“Iyo. Semua orang yang ngelihat kamu pasti ngira kamu hantu, Kin. Wong penampilanmu awut-awutan begitu. Paling banter orang ngira kamu itu orang gila.”

Kinan tertawa. “Sudah, sudah. Nggak usah seputus asa itu, Zein. Ngerasa takut itu manusiawi, kok. Nggak usah malu, apalagi sampai harus ngeledek aku. Nanti orang-orang ngira kemaskulinanmu itu rapuh sekali, lho, Zein.” 

Muka Zein kontan merah padam. Untungnya saat itu sedang malam, jadi Kinan tidak mungkin bisa melihatnya. “Asu!” rutuknya, jengkel melihat Kinan tertawa-tawa.

“Jadi piye, Zein? Mbak Rohananya ada nggak?”

“Ada. Barusan saja loncat dari sini. Semoga terekam, yo. Biar aku nggak sia-sia bergadang malam ini.”

“Amin.”

Zein kemudian mengambil dua kamera mereka yang berdiri di atas tripod, masing-masing di tiap ujung jembatan. Sesudahnya, ia turun ke Jalan Olahraga untuk bergabung bersama Kinan.

Kinanti Arumi Wahab bagai bola energi yang terangkum dalam tubuh seorang perempuan mungil. Semangat, ambisi, serta rasa ingin tahunya selalu meluap-luap. Ia gesit, cekatan, selalu ke sana-sini, sehingga mudah bosan bila tidak memiliki kegiatan. Ia suka mengenakan kaus oblong (sesekali ditumpuk dengan kemeja fanel), celana jin, juga sepatu kets atau sepatu sport. Rok, gaun, dan sepatu hak tinggi adalah beberapa hal yang tak ia sukai, murni karena mereka mengekang mobilitasnya. Penampilannya tomboi supaya pergerakannya tidak terganggu. Bahkan rambutnya pun dipotong pixie cut biar tidak ribet sekaligus gampang dirapikan.

Perkara sifat, Kinan kontras sekali dengan Zein. Laki-laki berambut cepak itu tidak grasah-grusuh seperti Kinan. Ia cenderung kalem, menyukai ketenangan. Zein menampilkan kualitas kedewasaan—dalam hal kemampuan mengendalikan diri serta emosi—yang jauh melebihi Kinan, kendati usia mereka cuma terpaut beberapa bulan saja. Kinan 19 tahun, Zein 20 tahun. Terlepas dari banyaknya perbedaan yang mereka miliki, keduanya justru klop satu sama lain.

Di Jalan Olahraga, Zein dan Kinan memasang kembali tripod dan kamera. Kinan mundur beberapa langkah sesudah menekan tombol on. Zein bergabung di sebelahnya.

“Ya, para pemirsa setia sekalian, baru saja Zein melakukan investigasi di Jembatan Perawan UGM untuk nyari tahu apakah urban legend Mbak Rohana, si penunggu jembatan ini, benar-benar ada atau nggak,” kata Kinan kepada kamera. “Nah, Zein,” Kinan menoleh ke Zein. “Gimana hasil investigasinya? Kamu ngelihat sosok Mbak Rohana?”

Iya, barusan saya ngelihat dia di sana.” Zein membalikkan badan, menunjuk ke arah jembatan di belakang mereka.

Lihat selengkapnya