Usahaku ingin berangkat sedikit kesiangan-setidaknya tepat ketika bel berbunyi tidak terwujud, jika bukan karena Langit dan Mama sudah dipastikan bawah sekarang aku masih di rumah, tapi entah mendapat motivasi dari mana, anak itu pagi-pagi sudah datang ke rumah, bahkan ia ikut dalam sarapan pagi keluarga bahagiaku.
“Kayak dua keluarga ya kita, Pa.”
Begitu kata Mama tadi pagi ketika Langit ikut makan, dan anak itu langsung setuju dengan tidak tahu malunya, lagipula, Langit memang begitu, entah kapan anak itu bisa bersikap jaim.
Sekarang, cowok itu sedang merangkul bahuku menuju kelas, katanya sebenarnya Langit ingin menggandeng tanganku, seperti pacaran ala-ala romantis, tapi karena tanganku masih diperban keduanya, jadi anak itu hanya merangkulku, meski sebenarnya aku tidak ingin dirangkul, apalagi digandeng olehnya.
Tanganku masih diperban sampai sekarang, terkadang masih ngilu beberapa kali, dan dipastikan tidak bisa memegang apa-apa, kemarin saja Langit yang menyuapiku, tentu saja dengan paksaan.
Tadi pagi juga.
“Ekhm ... pacaran jangan di koridor kali, kalo mata gue jadi blur trus kesandung gimana?”
Tanpa menoleh pun aku kenal suara menyebalkan itu, Banu.
“Ya syukur, lebih bagus lagi kalo lo sampe nyungsep ke lantai satu.” Langit menyelutuk dengan santai, membuat Banu memberungut kesal, tapi tidak sampai di situ, anak itu malah terfokus pada rangkulan tangan Langit, benar-benar menyebalkan.
“Apa nih rangkul-rangkul, mesra amat mbak dan masnya,” ejeknya.
Aku memaksa melepas rangkulannya, tapi tetap saja Langit kekeh tidak mau melepaskanku.
“Eh iya, Al. Kemaren Pak Andi marah-marah gegara lo pulang duluan, ulangan kimia kemaren, trus lo disuruh nyari dia secepatnya.”
“Kan tangan gue sakit kemaren, sekarang masih sakit loh, nggak bisa ngapa-ngapain.”
“Trus ngapain lo skolah? Nyatat juga ngga bisa, kan?”
“Ya setidaknya gua masi bisa dengerin guru kan.”
Banu menyipit curiga.
“Lo kan biasanya tidur di kelas, sejak kapan peduli gitu.”
“Benar, Mentari? Kamu sering tidur di kelas.”
“Benar banget, sampe ngorok, ileran, banyak lagi.” Itu baru saja Banu yang menjawab.
“Enak aja! Gue kalem ya!”
“Nggakpapa sih sebenarnya, Langit tetap suka.”
“Huek, bunting deh gua.”
“Jijik gue sama lo, Ban.”
Aku mendengus kesal menatap mereka berdua, kemudian berusaha melepas rangkulan Langit yang kali ini berhasil, kemudian masuk ke dalam kelas dengan tidak selamat, Ega dan Egi sudah berdiri di sisi kiri dan kanan pintu kelas.
“Pagi Alyana Mentari yang cantik.”
“Pagi Ega buluk.”
“Tega lo!”
“Kalau Ega buluk, berarti gue juga dong?”
“Pikir aja sendiri!”
Aku berlalu, mengacuhkan mereka yang masih bertanya-tanya, jika Ega buluk, apa Egi juga buluk?, melangkah menuju kursi. Di sampingku sudah ada Lea yang siap menanyakan banyak hal serta Radit yang sudah memutar kursinya ke belakang.
“Alya, Lo kenapa langsung pulang? Lo pulang sama Langit?” tanya Lea.
Aku mengangguk, “Tangan lo nggak papa, Al, masi sakit?” Radit bertanya sambil melirik kedua tanganku.