Jam istirahat, sesuai intruksi Pak Andi, aku terpaksa menemuinya di perpustakaan, Langit sudah bersamaku, bukan aku yang meminta atau mencarinya.
Tentu saja anak itu yang menemuiku, tepat saat bel berbunyi ia telah berada di depan kelas, benar-benar tak terduga.
Ia masuk tanpa aba-aba ke kelas, memanggilku dengan tidak tahu malu, juga melemparkan tatapan permusuhan pada Radit, urusan mereka masih belum kelar ternyata.
“Pacar, ngantin kuy!”
“Ayok, Pacar!”
Itu bukan aku, itu Banu, siapa lagi manusia menyebalkan di kelas selain dirinya?
Oh iya, ada Ega dan Egi juga.
Ia merangkulkan tangannya ke bahuku.
“Apa sih? Lepas!” ucapku, melepas rangkulannya dengan paksa, tapi karena tidak berhati-hati, tanganku menjadi ngilu lagi.
“Auh.”
“Mentari? Tanganmu masih sakit? Sini kulihat.”
“Nggak usah! Eh, Langit, temanin gue ke perpus!”
“Ngapain? Kita nggak ke kantin? Kamu ngga lapar?”
“Lapar! Tapi gue ada susulan gegara kemaren pulang cepat!”
“Kita makan dulu aja, ntar baru ke perpus.”
Aku menghela napas, jika bisa seperti itu, alangkah menyenangkannya, “Masalahnya ini Pak Andi, lo nggak bakal tau deh gimana tuh guru.”
“Yang guru kimia itu ya?”
“Hmm.”
“Oke, ayo.”
Tidak sia-sia juga Langit ke kelasku, setidaknya dia tidak hanya tahu mengganggu saja.
“Eh kalian sudah datang ternyata, sini kamu Alyana, kita langsung ulangan susulan, bapak belum makan ini.”
“Sama atuh, Pak, kita juga belum makan, ngasih susulan inget waktu juga, Pak.” Langit memberi protes, aku menyenggol kecil bahu sebelah kanannya, tidak baik berdebat dengan Pak Andi, takutnya akan memperpanjang waktu.
“Aduh kamu ya! Untung saya nggak ngajar kamu.”
“Kalau iya kenapa, Pak? Bapak mau jelekin nilai saya?”
“Bisa dipertimbangkan usulannya.”
“Pak susulannya kapan?”
“Oh iya, sampai lupa saya, gara-gara pacar kamu ini, kenapa kamu nggak sama Radit saja, Alyana? Saya sudah lama tau perasaannya, bahkan hanya dari dia menatapmu, dan lagi, mana ada sekarang cowok nyasi contekan ke cewek tanpa perasaan lebih.”
“Tapi kenyataannya Mentari pacar saya, Pak. Sedikit pahit untuk Bapak mungkin tapi saya sangat mensyukurinya.”
Pak Andi berdecak, “Udah lah kamu, nggak usah banyak omong, saya nggak ngerti bahasa kamu, terlalu tinggi.”
“Bapak pikir saya bakal ngerti juga kalau bapak pakai bahasa kimia? Nggak tu?” balas Langit lagi, namun kali ini ia hanya bergumam, tapi ia lupa jika pendengaran Pak Andi sedikit peka terhadap sekitar.
“Sepertinya kamu meminta saya memakai bahasa kimia?”
“Nggak kok, Pak.”
Aku hanya bisa berdecak malas, beginilah jadinya jika kedua manusia menyebalkan berada pada tempat yang sama dan dibiarkan berinteraksi sesamanya.