Tiga hari sudah Langit selalu mampir ke rumah setelah ia mengantarku pulang, cowok itu sebenarnya pagi-pagi juga sudah di rumahku, menumpang sarapan.
Katanya masakan Mama adalah masakan paling enak yang pernah ia makan, Mama yang mendengar itu tentu saja bahagia dan semakin menyayangi Langit. Tapi, aku tidak sepolos Mama, tentu saja masakan ibunya lebih enak baginya, anak mana yang tidak suka masakan ibunya sendiri? Lidah kita sudah terbiasa merasakan masakan ibu kita masing-masing bukan? Tentu saja itu hanya salah satu dari beberapa tipu daya Langit.
Aku tidak ingat lagi sudah berapa lama diriku berada di sekitar Langit, sebenarnya bukan aku yang di sekitarnya, tapi dia yang selalu mengelilingiku, anggap saja dia bulan dan aku adalah bumi, serasi bukan.
Sangat serasi hingga untuk saat ini bumi rela kehilangan satelitnya.
Pergi ke sekolah, istirahat, dan pulang sekolah, ia pasti ada di sebelahku.
Perihal tangan, sudah tidak ada perban menyebalkan itu lagi, hanya plaster kecil, dan rasa ngilu jika aku menggenggam terlalu erat, aku sudah bisa menulis.
“Pacar, kali ini pacar yang harus nemanin aku ke perpustakaan,” ucapnya begitu kami selesai menghabiskan batagor.
Aku menoleh dengan pandangan bertanya, meneguk sisa air pada gelasku, “Hah? Ngapain?”
“Ada tugas bikin essay gitu, mau cari inspirasi pacar.”
“Lo, eh maksudnya kamu ngerjain tugas?” ucapku, buru-buru meralat panggilan itu.
Aku trauma memanggil langit dengan sebutan ‘lo’, benar-benar trauma sampai aku berjanji tidak akan menggunakan kata itu pada Langit lagi.
Bayangkan saja, kemarin-kemarin setelah aku keceplosan memanggilnya begitu, Langit langsung mencium telapak tangannya dan menempelkan telapak tangan itu pada pipiku.
Hell, bahkan ia berkata jika aku keceplosan lagi, cowok itu akan mencium pipiku secara langsung.
Enak saja, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, salah satu aset berharga untuk suamiku akan kujaga dari cowok modelan Langit.
Tapi, jika jodohku Langit, mau bagaimana lagi, tapi untuk sekarang tidak boleh.
“Pacar,” tegurnya, ia tersenyum.
“Iya, iya, keceplosan Langit. Janji nggak gitu lagi.”
Cowok itu tersenyum penuh kemenangan, “Oke, karena hari ini aku lagi baik, jadi aku maafin, ayok ke perpus.”
Ia menggapai tangan kananku, mengenggamnya dengan lembut, dan tentu setelah membayar batagor, kami menuju perpustakaan.
✉📜
Aku tidak percaya akan mengatakan hal ini, tapi Langit yang terlihat serius di antara banyaknya tumpukan buku terlihat lebih menarik, kadar ketampanan yang cowok itu miliki seolah bertambah berkali-kali lipat.